Operator seluler Indosat Ooredoo mengusulkan skema infrastructure sharing atau berbagi infrastruktur, untuk mempercepat digelarnya jaringan 5G di Indonesia. Hal itu diungkapkan Joko Riswandi, Division Head RAN/Access NSAS Indosat Ooredoo di kantor pusat Indosat di Jakarta.
Joko menuturkan, pemerintah mengumumkan bahwa frekuensi yang masih kosong adalah frekuensi 26 GHz dan 28 GHz, di mana menurutnya jarak antar-BTS akan semakin dekat, dan menyebabkan menara BTS akan saling berhimpit.
"Jika tidak ada infrastruktur sharing, satu Jakarta bakal penuh, karena mendirikan tower sendiri-sendiri," kata Joko.
Ia menambahkan, infrastruktur bersama yang diperlukan bukan hanya menara BTS saja, namun termasuk ketersediaan ducting (galian kabel) yang dibangun bersama. Ia menjelaskan bahwa jaringan 5G akan menggunakan fiber optic bukan gelombang mikro, sehingga butuh adanya fasilitas ducting yang dibangun bersama.
Menurutnya, selama ini masih banyak operator yang membangun ducting sendiri-sendiri.
"Kalau enggak dibuatin ducting-nya, terus diberikan fasilitas yang bisa untuk bareng, nantinya akan berjejal," imbuh Joko.
Selain kebutuhan infrastruktur bersama, Joko juga berharap pemerintah bisa mempercepat regulasi 5G.
"Sampai hari ini di Kominfo (Kementrian Komunikasi dan Informatika) sendiri belum memutuskan, kapan akan merilis frekuensi untuk 5G di Indonesia," ucap Joko.
Ia mengatakan bahwa sesuai rencana, pemerintah baru akan menggulirkan regulasi terkait 5G pada pertengahan tahun 2020 atau awal tahun 2021.
"Menurut kita, itu sangat terlambat. Pemerintah harus lebih cepat, kalau regulasinya saja baru 2021, berarti bisa jadi kita baru bisa eksekusi 5G tahun 2021 atau 2022," imbunya.
Padahal menurut Joko, tahun 2020, permintaan dan use case untuk 5G sudah banyak. Kendala-kendala itu sejatinya telah disampaikan pihak Indosat Ooredoo ke pemerintah dan diklaim telah mendapatkan umpan balik.
"Ini sekadar masukan ya, masukan kita pun tergantung dorongan semua operator dan industri ke Kominfo," imbuh Joko.