Find Us On Social Media :

Fajar Budiprasetyo: Mimpi Mengubah Cara Belanja lewat HappyFresh

By Wisnu Nugroho, Minggu, 13 Januari 2019 | 22:10 WIB

Fajar A. Budiprasetyo (Co-Founder dan CTO Happy Fresh)

Jika ada sosok yang bisa bercerita mengenai manis getirnya menjadi entrepreneur di bidang teknologi, Fajar Budiprasetyo adalah salah satunya. Sejak lulus kuliah dari Ohio University, ia mengalami naik turunnya industri ini. "Tahun 2001 saya pindah ke San Fransisco, dan nyari apartemen itu susah banget (karena banyak karyawan perusahaan teknologi di sana-red)” kenang Fajar. Namun kemudian internet bubble meletus dan situasi menjadi berbalik: banyak apartemen kosong yang ditinggal penghuninya

Cerita hidup Fajar berlanjut ketika tahun 2004 ia kembali ke Indonesia. Sembari merintis software development house, Fajar dan bersama dua rekannya memiliki ide mengembangkan media sosial berbasis lokasi. Ide itu menghasilkan Koprol, yang di kemudian hari menjadi fenomena karena dibeli perusahaan raksasa teknologi, Yahoo!. Namun umur Koprol tidak bertahan lama, karena pada tahun 2012 layanan ini dihentikan Yahoo!

Baca Juga: Selain Happy Fresh, inilah layanan belanja sembako online

Lepas dari Yahoo!, Fajar mendirikan software house bernama IceHouse yang melayani pembuatan aplikasi dari klien. Salah satu kliennya adalah Paramount Studio yang meminta mereka membuatkan aplikasi pendukung untuk film Star Trek Into Darkness. Meski memiliki daftar klien ternama, ada kegelisahan tersendiri di hati Fajar. "Seseru-serunya di IceHouse, tetap saja itu project orang" ujar Fajar mengungkapkan alasannya.

Fajar pun kemudian merintis produk sendiri di bidang enterprise communication. Sempat mendapat pembiayaan awal, produk baru ini akhirnya terhenti karena tidak mendapat momentum. Namun Fajar tidak patah semangat. Bersama entrepreneur asal Jerman Markus Bihler, Oktober 2014 lalu Fajar mendirikan layanan online grocery bernama HappyFesh

Mencari Bentuk

Happy Fresh pada dasarnya adalah layanan online terkait pembelian dan pengantaran barang belanjaan. Saat menggunakan jasa HappyFresh, konsumen tinggal memilih supermarket berikut produk yang ingin mereka beli. Nantinya, personal shoppers HappyFresh akan membelikan dan mengantarkan barang belanjaan tersebut ke rumah. Happyfresh menjanjikan barang diantar dalam satu jam setelah pemesanan atau sesuai permintaan konsumen (misalnya malam hari saat sudah tiba di rumah). 

HappyFresh kini juga bekerjasama dengan Grab untuk memudahkan belanja konsumen

Model bisnis HappyFresh sendiri adalah mengenakan biaya pengantaran serta mendapatkan komisi dari pihak supermarket. Saat ini, supermarket yang telah memiliki kerjasama dengan HappyFresh adalah Ranch Market, Lotte, Grand Lucky, Loka, All-Fresh, serta Superindo. HappyFresh sendiri tidak cuma beroperasi di kota besar Indonesia (yaitu Jakarta, Bandung, dan Surabaya), namun juga Asia (Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, dan Taiwan).

Pengalaman panjang yang mewarnai perjalanan karir Fajar nyatanya memiliki manfaat tersendiri. Salah satunya adalah pemahaman mendalam soal skema kerja scrum agile yang ia pelajari saat bergabung dengan Yahoo. “Kebetulan tim saya dijadikan role model dari agile transformation yang dilakukan Yahoo” cerita Fajar. Dari belajar secara otodidak, Fajar kemudian mendapatkan pembelajaran yang lebih komperehensif di Yahoo soal scrum agile ini.

Konsep agile ini pun Fajar terapkan untuk pengembangan aplikasi dan produk Happy Fresh. Jika pengembangan aplikasi berbasis waterfall mengharuskan proses requirement dari business user sebelum dieksekusi tim TI, di metode scrum agile, hal itu dihilangkan. “Requirement dokumen itu gak pernah ada” ungkap Fajar mencontohkan. Sebagai gantinya, tim bisnis dan TI Happy Fresh membagi pengembangan aplikasi per durasi dua minggu (yang disebut sprint). “Kita lakukan grooming dan planning tiap minggu, setelah itu kita kerjakan yang telah direncanakan” tambah Fajar.

Alhasil, tiap dua minggu, Happy Fresh memiliki satu fitur baru yang siap ditambahkan di layanan maupun aplikasinya. Konsep ini tidak saja membuat HappyFresh lincah menjawab kebutuhan, namun juga sesuai dengan ranah industri online grocery yang digeluti HappyFresh. Berbeda dengan pembelian gadget atau fashion, pembelian bahan kebutuhan pokok adalah hal baru bagi konsumen Indonesia. “Jadi di online grocery, belum ada yang tahu customer itu maunya bagaimana” tambah Fajar mengungkapkan tantangan yang ia dan timnya hadapi saat ini.

Tantangan tidak cuma di sisi pengguna, namun juga sistem di Happy Fresh sendiri. Contohnya bagaimana teknologi dapat mensetarakan kecepatan berbelanja antara personal shopper berpengalaman dengan yang baru. “Setiap personal shoppers tentu kami latih, namun pasti ada perbedaan antara mereka yang berpengalaman dengan yang baru bekerja” tambah Fajar.

Fajar pun memanfaatkan teknologi untuk menimalisir masalah ini. Caranya dengan merancang aplikasi untuk personal shoppers yang disesuaikan dengan penempatan barang di supermarket. Jadi saat personal shoppers berbelanja, ia mendapatkan daftar belanjaan yang berurutan sesuai tata letak barang di supermarket. Hal ini membuat kecepatan belanja tiap personal shoppers relatif setara yang berujung pada ketepatan waktu pengantaran dan kepuasan konsumen.

Mengubah Perilaku

Dalam konteks lebih luas, efisiensi juga dibutuhkan untuk mengatur pergerakan personal shoppers HappyFresh. “Bagaimana pekerjaan yang biasanya dikerjakan dua shoppers bisa dikerjakan satu shopper saja” tambah Fajar mencontohkan. Untuk itu, dibutuhkan sistem logistic engine pintar yang bisa mengurutkan kerja tiap shoppers sesuai lokasi supermarket dan pemesan dengan tetap menjaga janji waktu delivery barang ke pemesan. Pengaturan area personal shoppers juga penting agar ketika terjadi kenaikan permintaan di Jakarta Selatan, misalnya, personil yang di area Jakarta yang lain bisa segera dialihkan.

Tantangan lain yang harus dihadapi Happy Fresh adalah memastikan produk yang dipesan konsumen masih tersedia di supermarket. Masalah ini cukup pelik mengingat inventori supermarket di Indonesia yang kebanyakan belum online. “Tiap hari kita mendapat daftar inventori, namun masalahnya data tersebut tidak real-time” tambah Fajar. Barang yang tertera di inventori sebuah supermarket bisa jadi tidak tersedia ketika shoppers HappyFresh datang akibat diborong orang lain. “Jadi tantangan kami adalah membuat sistem yang bisa memprediksi stok” tambah Fajar.

Tugas besar itulah yang kini dihadapi Fajar bersama tim TI-nya yang berjumlah 50 orang. Sebagai co-founder sekaligus CTO, keseharian Fajar dipenuhi pertemuan bisnis sambil memonitor target tiap sprint. Ditambah kesibukan sebagai ayah tiga anak, Fajar mengaku sudah tidak memiliki waktu untuk coding atau menjalankan hobi seperti dulu lagi.

Akan tetapi sebagai pemimpin yang memiliki prinsip lead by example, Fajar mengaku semua itu tidak menjadi masalah. Ia hanya berharap kerja kerasnya bersam tim bisa menyakinkan konsumen untuk menggunakan layanan online grocery seperti HappyFresh. Hal ini menjadi krusial mengingat "pesaing" terbesar HappyFresh sebenarnya bukan layanan sejenis, melainkan gaya belanja masyarakat Indonesia.

Saat ini sudah terbentuk gaya hidup di masyarakat Indonesia yang menjadikan aktivitas belanja kebutuhan pokok sebagai bagian dari acara keluarga dan jalan-jalan. “Jadi tugas kami adalah menyakinkan orang yang tadinya belanja offline sambil jalan-jalan menjadi belanja online tapi tetap jalan-jalan” ujar Fajar sambil tersenyum lebar.