Find Us On Social Media :

Pixar, Netflix, AirBnB: Sukses Karena Karyawan Terobsesi Pekerjaan

By Administrator, Minggu, 13 Januari 2019 | 23:59 WIB

Inti Artikel:

Penulis: Meisia Chandra, Head of Accounts & Consulting, Storm Benefits Indonesia

Ketika dalam masa persiapan sebuah film, tim animator Pixar dapat bekerja tujuh hari seminggu selama berbulan-bulan. Tim yang sangat berdedikasi ini bekerja memenuhi standar kreatif Pixar yang tinggi. Sebagian dari mereka bahkan bisa dibilang “terobsesi” pada pekerjaan. 

Hal ini dikisahkan dalam buku Extreme Teams: Why Pixar, Netflix, AirBnB, and Other Cutting-Edge Companies Succeed Where Most Fail (Robert Bruce Shaw, 2017).

Contoh paling ekstrim adalah seorang animator Pixar sedang mengemudikan mobilnya menuju ke kantor. Dalam perjalanan di pagi hari itu, pikirannya amat sibuk dengan pekerjaan yang sedang ia kerjakan, apa yang akan dikerjakannya di kantor pada hari itu. Saking sibuknya, ia lupa bahwa ia seharusnya menitipkan anak bayinya di tempat penitipan anak.

Lebih parah lagi, ia lupa bahwa anaknya sedang berada di kursi belakang mobilnya. Baru tiga jam kemudian ketika istrinya menelepon, baru si animator sadar akan kesalahannya. Ia pun segera berlari ke tempat parkir dan menemukan anaknya di kursi belakang. Untunglah kejadian itu tidak berakibat fatal pada si anak.

Manajemen Pixar yang mengetahui kejadian ini menganggap hal ini sebagai alarm peringatan tentang stres yang mungkin dihadapi pegawai karena bekerja dengan komputer untuk waktu yang lama. Tak lama setelah itu Pixar memanggil tim Ergonomist secara berkala untuk memeriksa kondisi tempat kerja para animator yang bekerja dengan komputer dalam waktu yang lama.

Di sisi lain manajemen melihat hal ini sebagai bentuk komitmen tinggi dari pegawai yang rela melakukan apa saja yang diperlukan untuk menghasilkan karya yang hebat. Berbeda dengan perusahaan pada umumnya, Pixar tidak memiliki masalah dalam memotivasi pegawainya. Sebaliknya, masalah yang mereka hadapi justru bahwa karyawan mereka terlalu termotivasi.

Dorong Sukses Luar Biasa?

Dalam kadar tertentu, “terobsesi”, bahkan sedikit “gila” pada pekerjaan, memang dibutuhkan untuk menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dalam Extreme Teams, Robert Bruce Shaw berargumen bahwa memiliki orang-orang yang terus memberi perhatian dan energi mereka untuk menyukseskan tujuan bersama adalah faktor yang hampir selalu diperlukan untuk menciptakan hasil yang hebat.

Merujuk pada kamus Merriam-Webster tentang obsesi, Shaw menggambarkan orang-orang “gila kerja” ini sebagai obsesif, yang berarti mereka terus-menerus memikirkan pekerjaan dan perusahaan mereka, dan bekerja dengan rajin untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini mungkin tidak sehat, tapi sukses yang luar biasa jarang terjadi tanpa memiliki cukup orang-orang seperti ini.

Justine Musk, mantan istri Elon Musk pernah menggambarkan CEO dan founder Tesla dan SpaceX itu sebagai seorang yang aneh dan canggung. Penggambaran seorang pemimpin visioner seperti Elon Musk sebagai aneh dan canggung mungkin terlalu ekstrem. Namun dapat dikatakan bahwa para leader seperti Musk memang abnormal dalam hal dorongan mereka untuk mencapai sukses dan seberapa dalamnya mereka tenggelam dalam pekerjaan mereka.

Jack Ma, pendiri Alibaba ternyata juga pernah dicap sebagai “orang gila”. Dalam pidatonya di Harvard, Jack Ma bercerita tentang seorang CEO perusahaan asing yang pernah menyebut Ma orang gila. CEO itu mengatakan bahwa ia sudah tinggal di China selama bertahun-tahun, dan tidak percaya cara Ma mengelola perusahaan sehingga berhasil. Lalu Ma mengajak CEO itu mengunjungi kantor Alibaba. Setelah tiga hari tinggal di sana, CEO itu pun berkata, “Sekarang saya mengerti. Di sini ada 100 orang gila sama seperti kamu”.

Mendekati Kultus

Shaw mengidentifikasi beberapa perusahaan yang berhasil menumbuhkan obsesi pada timnya. Mereka berbagi obsesi yang sama untuk mengejar satu tujuan. Mereka memiliki keyakinan yang hampir seperti agama, karena memiliki keyakinan bahwa mereka mengabdi untuk tujuan yang lebih besar.

Contohnya, Whole Food. Perusahaan ini ingin mengubah dunia dengan nutrisi yang lebih baik. Pixar ingin menyentuh emosi orang-orang melalui film-filmnya. Zappos melihat panggilan tertinggi untuk menciptakan kebahagiaan, bukan hanya kepada pelanggan tetapi juga kepada dunia. Airbnb ingin menciptakan rasa memiliki dan komunitas, menyediakan tempat tinggal, sehingga seseorang merasa betah kemana pun mereka bepergian.

Beberapa contoh perusahaan di atas menurut Shaw mempunyai kualitas mendekati kultus. Analogi itu tidak terelakkan, apalagi mengingat passion yang bisa ditemukan di dalam contoh perusahaan di atas. Tak jarang mereka juga dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik yang menumbuhkan rasa kesetiaan tinggi.

Namun demikian, kunci kesuksesan beberapa perusahaan yang dicontohkan di atas justru karena mereka berhasil memiliki kualitas mendekati kultus, tapi tidak menjadi kultus. Setidaknya ada dua hal yang membedakan perusahaan-perusahaan ini dengan kultus.

Pertama, realitas dalam menjalankan bisnis berarti keyakinan seorang pemimpin akan selalu diuji oleh pasar. Mereka tidak bisa hanya mendasarkan pada keyakinan saja. Ide para pemimpin bisnis ini akan selalu diuji dari waktu ke waktu apakah produktif atau tidak.

Kedua, aktivitas anggota tim di perusahaan-perusahaan ini tidak hanya ditujukan bagi kepentingan organisasi mereka saja, tetapi kepada dunia. Berbeda dengan kultus yang biasanya bersifat rahasia dan cenderung mengambil keuntungan dari anggota timnya.

Aribnb misalnya. Founder Airbnb memiliki keyakinan yang teguh bahwa mereka bisa mengubah pengalaman orang-orang dalam bepergian, dengan memfasilitasi penyewaan kamar antara para tamu dan tuan rumah. Akan tetapi tujuan yang lebih besar dari perusahaan tersebut, sebenarnya, adalah menciptakan kepercayaan dan perasaan komunitas di seluruh dunia. Sebuah tujuan yang mulia, luhur, dan ideologis, hampir seperti agama.

Model bisnis Airbnb, yang terus diuji dan diperbaiki, kini telah menghasilkan jutaan transaksi penyewaan tempat tinggal di 91 negara. Airbnb memberikan manfaat yang dirasakan oleh jutaan orang. Memang Airbnb bermula seperti sebuah kultus, tapi ia telah berevolusi menjadi sesuatu yang lain. Tantangan dari perusahaan-perusahaan ini adalah tetap idealis, mendorong batas-batas sebuah bisnis, tanpa menjadi terpisah dari kebutuhan untuk menarik konsumen dan mendapatkan keuntungan.