Kehadiran platform e-commerce dan market place menawarkan manfaat yang besar bagi Indonesia karena jutaan para pelaku UMKM tidak perlu menyewa toko, minimnya pegawai, biaya promosi yang terjangkau dan masyarakat yang sudah mulai sadar dengan jualan online.
Studi McKinsey melaporkan platform online bisa mencipatakan 26 juta lapangan pekerjaan baik langsung dan tidak langsung.
Namun, Keputusan pemerintah menerbitkan PMK No.210/PMK.010/2018 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) menjadi petir di siang bolong bagi industri e-commerce Indonesia yang dibawah nauangan Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA).
Keputusan pemerintah yang ingin menarik pajak e-commerce sangat tidak tepat karena dapat mengancam bisnis dan hidup para pedagang online yang usianya masih relatif baru.
Studi idEA di 18 kota di Indonesia mengungkapkan 80 persen dari para pelaku UMKM masih kategori mikro, 15 persen masih kategori kecil dan 5 persen baru masuk usaha menengah.
Ignatius Untung (Ketua idEA) mengatakan saat ini 80 persen para pelaku UMKM online itu masih berjuang untuk bertahan, menguji model bisnis dan belum bisa membesarkan usahanya. Jika ditarik pajak sekarang dan harus mendaftar serta menyetorkan NPWP segala itu sangat memberatkan mereka.
"80 persen pedagang online itu adalah pedagang mikro yang usahan-nya masih baru dan masih coba-coba. Belum tentu mereka bisa bertahan dalam beberapa bulan ke depan. Mereka lebih baik gulung tikar jika 'dipaksa' ngurus NPWP," ucapnya.
"Kami deg-degan dan bisa mati. Bayangkan!, kalau 80 persen atau setengahnya para pelapak mikro itu menutup lapaknya di toko online. Itu bisa mengancam bisnis perusahaan e-commerce itu sendiri yang susah payah mengumpulkan para pelapak online," ujarnya.
Kesiapan Sistem
"Bagaimana kesiapan sistemnya. Bisa saja orang menggoogling nomor NPWP orang lain di Google dan mencatut nomornya supaya bisa jualan di online. Bila tidak ada kartu NPWP, bisa dengan KTP, bagaimana jika KTP-nya palsu?. Apakah sistem DJP sudah siap? Apakah sudah terintegrasi dengan Dukcapil di waktu yang mepet ini?" ucapnya.
"Jika ada kesalahan sistem baik nomor NPWP-nya atau KTP-nya tidak cocok atau kesalahan teknis lainnya, maka jualan online bisa berhenti. Ini sangat mengganggu tentunya," ucapnya.
Kendala lainnya, idEA melihat perusahaan e-commerce di Indonesia mendapatkan tugas tambahan dari pemerintah untuk mengumpulkan atau menyetorkan kartu NPWP pelapaknya.
"Kalau kita buka rekening di bank tidak perlu bawa kartu NPWP hanya cukup KTP saja. Ini karena masyrakat yang buka rekening di bank memiliki penghasilan dan tidak terbebani. Berbeda dengan orang jualan yang penghasilannya tidak tetap," pungkasnya.
Ditunda sampai Kapan?
idEA melihat keputusan pemerintah itu sangat mendadak tanpa sosialisasi yang cukup karena dapat membuat para pedagang online kaget. Sebagaian besar para pedagang mikro tidak mengerti tentang perpajakan dan mereka harus melaporkan pajaknya pada tahun depan.
"Kami hanya memiliki waktu beberapa bulan untuk melakukan edukasi ke para pelapak. Waktu ini sangat mepet," ucapnya.
Selain itu, pemberlakuan PMK-210 bisa menjadi halangan, beban dalam pengembangan usaha mereka. Pemberlakuan PMK-210 akan menggenjot nilai pajak dalam jangka pendek tetapi juga dapat menyurutkan para pelapak online yang masih bertahan.
Karena itu, idEA memintah pemerintah untuk menunda keputusan itu dan mengkaji ulang. idEA siap duduk bersama dengan pemerintah untuk membuat kajian yang memuat tentang dampak, kesiapan dan resiko lainnya.
"Kami meminta (peraturan) ini ditunda dan dikaji ulang hingga studi kelayakan ini rampung dibuat," ujarnya.
Ignatius mengatakan proses pembuatan kajian itu memakan waktu yang tidak sedikit karena harus melibat banyak pihak seperti pemerintah baik kementerian keuangan, dirjen pajak, dukcapil dll dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
"Berdiskusi dengan YLKI bisa 3 bulanan dan studi lainnya bisa nambah 6 bulan. Paling cepat kebijakan ini bisa berlaku tahun depan. Kami pun perlu waktu untuk mensosialisasikan regulasi ini dengan pelapak ini," ucapnya.
Regulasi Menteri
Dalam regulasi PMK No.210/PMK.010/2018, pedagang dan e-commerce yang menjual barang akan dikenakan kewajiban pajak penghasilan (PPh) sesuai ketentuan perundang-undagang di bidang pajak penghasilan.
Perusahaan e-commerce di Indonesia juga mempunyai tugas untuk memungut dan menyetorkan pajak ke negara. Pemerintah memberlakukan tiga pajak untuk e-commerce yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) yang tertunggak sebesar 10 persen, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM).
Selain itu, Kementerian keuangan juga mewajibkan pedagang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memberikan NPWP kepada pengelola e-commerce. Peraturan perpajakan e-commerce ini akan berlaku 1 April 2019.