Find Us On Social Media :

Belajar Strategi Implementasi Artificial Intelligence dari GE

By Liana Threestayanti, Jumat, 15 Februari 2019 | 13:05 WIB

Baru setahun terakhir GE mengimplementasikan artificial intelligence berwujud bot. Bagaimana strateginya?

Mengadopsi teknologi terkini, misalnya aritifical intelligence (AI), masih dirasa sulit oleh sebagian perusahaan padahal oleh jajaran manajemen sudah diagendakan. Ada baiknya kita belajar dulu dari GE.

GE meluncurkan inisiatif AI sekitar satu tahun lalu khususnya di fasilitas manufaktur yang berlokasi di Budapest, Hongaria. GE memilih bereksperimen dengan bot karena dianggap lebih efektif untuk mengimplementasikan strategi AI. AI bot ini memungkinkan GE mengaplikasikan teknologi terhadap praktik-praktik tradisional pengelolaan karyawan, misalnya, proses onboarding dan pelatihan karyawan.Tidak ingin memulai dari nol, GE mengembangkan AI bot dari dari robot software Robotic Process Automation (RPA) yang telah digunakan oleh departemen bisnis untuk mengotomatisasi berbagai tugas-tugas terkait operasi bisnis. Robot software itu kemudian ditingkatkan kemampuannya dengan aplikasi cloud, algoritma machine learning, dan conversational interface agar dapat menggantikan peran manusia dalam menjalankan aneka pekerjaan.

Mulailah Dari Hal yang Mudah Diwujudkan

Fokus awal GE dalam inisiatif AI ini adalah mengidentifikasi hal-hal yang mudah dan cepat bisa diwujudkan. Dan tim yang dipimpin oleh Vivek Thakral, Director of AI, akhirnya sampai pada pekerjaan rutin karyawan, seperti memroses invoice atau mengisi pesanan.  

“Ini benar-benar pendekatan model bottom-up, saya ‘ketuk pintu’ setiap orang, minta waktu, dan berjanji tidak akan membuat mereka kehilangan pekerjaan,” cerita Thakral, seperti dikutip dari TechTarget.com.

Di tahun pertama itu, GE berkonsentrasi pada mempelajari cara memanfaatkan berbagai teknologi secara efektif. Dalam proyek ini, selain menggandeng Gartner, GE juga bekerja sama dengan dua puluh vendor penyedia teknologi RPA dan tool AI.

Kini, GE mempekerjakan sekitar lima puluh bot. Bot yang dinamai, antara lain, Greg, Olivia, dan Max itu melakukan tugas-tugas tertentu yang kerap menyulitkan karyawan. “Kami mengembalikan 15.000 jam kerja ke bisnis sehingga para karyawan dapat melakukan hal yang lebih produktif dengan supplier dan pelanggan,” cerita  Vivek Thakral.

Rencana Tahun Depan

Selanjutnya GE akan memfokuskan pada cara-cara mengorganisasi para pekerja digitalnya itu dengan berbekal filosofi-filosofi manajemen tradisional. Vivek Thakral berencana membuat satu ekosistem yang terdiri dari para manajer. Dalam ekosistem ini, para manajer itu dapat mengevaluasi tiap AI bot bahkan sampai dengan tingkat keahlian para bot ini dalam memroses hal yang berbeda, misalnya di penjualan, compliance, pemesanan, dan akunting.

Tahun depan, Divisi AI GE akan lebih memfokuskan pada teknik-teknik scaling dan adopsi untuk meningkatkan kinerja bot, misalnya process mining dan integrasi IoT. Process mining memungkinkan pengguna memperoleh insight yang lebih rinci tentang bot, misalnya mengapa satu bot dapat menuntaskan proses dalam lima menit sementara bot yang lain membutuhkan waktu sepuluh menit.

Karyawan Takut Kehilangan Pekerjaan

Untuk hasil yang optimal, AI bot harus berlatih dalam waktu lama, mungkin bertahun-tahun. Dari pengalaman GE, salah satu bagian terbesar dalam proses ini adalah bagaimana membuat sistem yang sudah ada lebih produktif dan dapat cepat beradaptasi dengan AI. Menurut Vivek Thakral, sousinya adalah identifikasi akar masalah.  

Selain itu, GE juga menemui tantangan dalam meningkatkan kualitas data. Karyawan mungkin dengan mudah dapat menemukan perbedaan data antara log data master dan data transaksi, tapi tidak demikian halnya dengan bot. Karyawan juga cenderung lebih suka membuat data set di komputernya sendiri dan harus diingatkan untuk menyimpan customized data set tersebut ke database sentral sehingga bot dapat mengerjakan tugasnya dengan baik.

Tantangan lain datang dari para karyawan GE sendiri. Ternyata tidak semua karyawan front line menyukai ide bahwa mereka akan mempunyai lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan pelanggan dan supplier. Suatu saat bot yang diharapkan dapat melakukan 500 transaksi per bulan ternyata hanya bisa mencapai 50 transaksi saja. Selidik punya selidik, output yang tidak sesuai target itu akibat ada informasi yang disembunyikan atau karyawan memberikan informasi atau data yang salah ke bot. “Alasannya tentu saja karena karyawan takut jika bot mengambil alih pekerjaan mereka,” kata Vivek Thakral.