Firma riset GFK mencatat jumlah smartphone yang terjual di seluruh dunia mencapai 1,44 miliar unit dari seluruh dunia. Angka ini menurun tiga persen pada tahun 2018 dibanding tahun 2017.
Namun ada anomali pada catatan penjualan smartphone global kali ini jika dibandingkan dengan jumlah pendapatan yang diterima vendor smartphone. Saat penjualan menurun tetapi pendapatan dari penjualan tersebut malah meningkat.
GFK mencatat, penjualan smartphone justru menguat ke angka 522 miliar dollar AS atau Rp 7.310 triliun naik sebesar lima persen. Kenaikan ini didongkrak oleh smartphone flagship yang terus bertumbuh.
Menurut GFK, smartphone masih mendominasi total penjualan technical consumer goods (TCG) pada tahun lalu dan diprediksi akan naik satu persen pada tahun 2019.
Pada kuartal IV-2018, tercatat 375 juta smartphone terjual di seluruh dunia. Jumlah ini menurun tujuh persen secara year-on-year dan menghasilkan nilai penjualan 144 miliar dollar AS atau Rp 2.016 triliun.
Lebih lanjut, GFK mengungkapkan sekitar 12 persen dari total smartphone yang terjual tahun 2018 berbanderol 800 dollar AS atau Rp 11,1 jutaan. Persentase tersebut naik dari tahun 2017 lalu yang mencapai 9 persen.
Sementara itu, segmen menengah dengan rentang harga 150 - 400 dollar AS (Rp 2-5,5 jutaan) disebut menjadi segmen yang paling kompetitif.
Di segmen ini, sebanyak 46 persen smartphone terjual secara global di tahun 2018, naik dua persen dari tahun 2017.
Menurut GFK, industri smartphone masih belum menuntaskan catatan merah tahun 2017, yakni minimnya inovasi yang menarik.
Hal ini berimbas pada siklus pergantian perangkat yang semakin lama dan menempatkan harga jual rata-rata (ASP) di bawah tekanan.
Alhasil, ASP tercatat turun dua persen ke angka rata-rata penjualan 384 dollar AS (Rp 5,3 jutaan). Perubahan konsumen Menurut penelitian terhadap "Consumer Life" tentang perilaku konsumen, GFK menemukan fakta adanya perubahan tren konsumen tentang kepemilikan.
Konsumen saat ini lebih suka memiliki barang yang sedikit jumlahnya tetapi menawarkan kualitas yang mumpuni. Mereka bahkan rela membayar dengan harga tinggi demi mendapatkan pengalaman pengguna yang lebih baik, ketimbang hanya memiliki ponsel dengan jumlah cukup banyak.
GFK menyebut segala macam fitur baru yang ditawarkan kebanyakan ponsel saat ini kurang merangsang permintaan smartphone yang besar. Fitur yang dimaksud misalnya memori yang besar, layar yang lebih luas, atau resolusi kamera yang tinggi.
"Riset kami menunjukan bahwa meski fitur-fitur baru di smartphone sekarang hampir sebanding dengan fitur di komputer atau laptop, tapi untuk spesifikasi high-end masih dibutuhkan adanya pengalaman baru," jelas Igor Richter, perwakilan dari GFK.
Ia juga menyoroti pertumbuhan ponsel gaming yang makin menjamur saat ini. Menurutnya masih ada potensi yang belum digali maksimal oleh para vendor untuk mengembangkan ponsel gaming.
"Game kelas atas telah ditopang oleh industri PC dan saat ini menjadi penggiring pertumbuhan utama di sana. Namun, ada potensi yang belum dimanfaatkan untuk permintaan gaming di smartphone," imbuh Igor.
Beberap fitur yang ditawarkan ponsel gaming seperti chipset yang semakin mutakhir, ketajaman layar, atau kapasitas baterai yang semakin besar, menjadikan smartphone sebuah perangkat yang ideal untuk pengalaman gaming on the go.
"Ini menjelaskan mengapa 55 persen pengguna smartphone di seluruh dunia bermain game di smartphone mereka dalam 30 hari terakhir," ujarnya.
Malah Tumbuh Pasar terbesar di China
China menjadi pasar smartphone terbesar dalam ranah global. Hal ini juga didukung banyaknya vendor smartphone yang berasal dari sana. Mereka pun berhasil menjual produknya ke luar pasar China yang turut mempengaruhi penjualan pasar global.
Dihimpun GFK, sebesar 40 persen merek ponsel China yang diproduksi tahun 2018 dijual di luar China. Jumlah ini naik dari angka 31 persen pada tahun 2016. Meski begitu, pasaran China tak selalu baik.
Pada kuartal IV-2018, terdapat penurunan 19 persen secara year-on-year dan berdampak pada penjualan global.
Penetrasi penjualan smartphone juga terjadi di negara berkembang seperti negara di Asia Tenggara, India, dan Bangladesh yang naik 13 persen secara year-on-year. Disusul Eropa Tengah dan Timur yang naik tiga persen secara year-on-year.