Pemerintah mengaku kesulitan mengontrol perusahaan-perusahaan yang menggunakan software bajakan atau tidak berlisensi.
Kepala Seksi Pencegahan Direktorat DJKI, Kementerian Hukum dan HAM, Anang Pratama mengatakan pemerintah memiliki keterbatasan ruang dalam menangani dan mengawasi penggunaan software.
"Sesuai regulasi, penegakan hukum terkait dengan software bajakan ada UU Nomor 28 Tahun 2014. Jadi, apabila tidak ada aduan atau pencatatan dari masyarakat, maka kami akan mengalami kesulitan karena tidak bisa melakukan langkah hukum," kata Anang dalam acara kampanye BSA: Legalize and Protect di Jakarta.
Kasubdit Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Kementerian Hukum dan HAM, Irbar Susanto mengatakan bahwa masalah software bajakan telah menghambat pemerintah untuk melakukan kerjasama dengan pihak eksternal dalam menanggulangi pembajakan software.
"Dalam kurun 2015-2018, hanya ada 100 perusahaan software yang mendaftarkan hak ciptanya ke pemerintah. Ini dipengaruhi tidak adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan software untuk mendaftarkan hak ciptanya," ujarnya.
Sementara itu, menurut laporan "Legalize and Protect: A Campaign To End Corporate Use of Unlicensed Software in Indonesia" yang dirilis BSA, persentase penggunaan software bajakan di Indonesia pada tahun 2017 tercatat sebagai yang tertinggi untuk kawasan Asia Pasifik, yakni 83 persen. Angka ini juga disebut sebagai yang tertinggi di dunia.
"Di kawasan Asia Pacifik, rata-rata penggunaan software tidak berlisensi adalah 57 persen, sementara di Indonesia persentasenya mencapai 83 persen. Ini tinggi sekali, bahkan termasuk yang tertinggi di dunia," kata Senior Director BSA, Tarun Sawney pada kesempatan yang sama.