Serangan disrupsi teknologi yang masif mulai berdampak ke beberapa sektor industri di Indonesia termasuk industri perbankan. Jumlah karyawan perbankan dilaporkan terus menurun dalam tiga tahun terakhir ini.
Bahkan, jumlah karyawan bank besar seperti PT Bank Central Asia Tbk dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mulai turun sejak 2017. Hanya dua bank pelat merah yaitu PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang masih konsisten menambah jumlah karyawannya dalam tiga tahun terakhir.
Rico Usthania Frans (Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri) mengatakan ada 50 persen posisi kerja karyawan perbankan yang ada saat ini akan hilang dalam waktu 10 tahun mendatang.
"Ini perlu dipikirkan bersama. Kita butuh relokasi sumber daya manusia," katanya.
Endang Hidayatullah (Direktur Kepatuhan Bank BNI) mengatakan kebutuhan perbankan terhadap pegawai akan terus berubah seiring dengan perkembangan teknologi digital. Komposisi alih fungsi tugas tersebut mencapai 60 persen dari total karyawan. Jumlah tersebut merupakan pekerjaan rutin yang kini sudah digantikan oleh teknologi.
"Arah kami adalah tetap mengoptimalkan pegawai yang ada dengan sistem alih fungsi, misalnya dulu teller, sekarang jadi sales," ucapnya.
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi menuturkan tidak lama lagi perbankan akan butuh sumber daya manusia (SDM) yang memiliki daya analisis tinggi, bukan lagi kemampuan administrasi dan pelayanan seperti teller.
"Secara umum, pekerjaan yang akan paling cepat terdampak adalah posisi front office," ujarnya.
Batara mengatakan Citibank berencana tidak akan menambah jaringan secara fisik. “Digital itu shifting. Jangan heran nanti kalau ada bank yang butuh banyak kemampuan IT, bukan ekonomi, karena ada perubahan model bisnis,” tutur Batara.
PT Bank Danamon Indonesia Tbk. tercatat menjadi bank yang paling masif memotong jumlah karyawan. Sejak 2014—2018, bank yang akan melebur dengan Mitsubishi UFJ Financial Group telah mengurangi 10.177 karyawan.
Ketua Umum Serikat Kerja Bank Danamon Abdoel Moedjib mengatakan bahwa hal itu mutlak terjadi dan merupakan bagian dari implementasi teknologi.
“Hampir semua bagian terkena dampak, mulai dari front office hingga back office. Analis kredit ini dulu bisa butuh sampai 12 orang satu cabang, sekarang 2—3 orang,” ujar Moedjib.
Bhima Yudhistira, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance, menjelaskan bahwa penurunan jumlah pegawai perbankan akan menimpa bank dengan modal inti Rp5 triliun hingga lebih dari Rp30 triliun karena memiliki modal besar untuk melakukan digitalisasi bisnis.
“Teknologi dalam jangka panjang itu lebih murah dibandingkan dengan membuka kantor cabang baru yang harus diisi oleh karyawan,” katanya.