Find Us On Social Media :

Petinggi Facebook Bisa Masuk Penjara Gara-gara Aturan Australia Ini

By Wisnu Nugroho, Jumat, 5 April 2019 | 10:15 WIB

Pemerintah Bahas Masa Tenang Pemilu dengan Facebook dkk Besok

Petinggi Google, Facebook, dan Twitter saat ini mungkin sedang deg-degan. Pasalnya, Pemerintah Australia secara resmi mengesahkan aturan yang mengharuskan penyedia media sosial untuk segera menghentikan penyebaran konten negatif. Jika melanggar, akan ada konsekuensi berupa denda uang atau hukuman masuk penjara.

Aturan yang disebut Sharing of Abhorrent Violent Material disusun parlemen Australia menyusul tragedi penembakan di Christchurch, Selandia Baru. Kala itu, seorang pria asal Australia melakukan penembakan ke jamaah masjid sambil melakukan live streaming. Penyebaran video mengerikan inilah yang coba dicegah melalui aturan hukum baru ini.

Di bawah aturan baru ini, penyedia platform harus secara cepat menarik konten audio dan video yang menampilkan aksi kekerasan mengerikan. Yang dimaksud aksi kekerasan ini seperti serangan teroris, pembunuhan, pemerkosaan, sampai penculikan. Selain itu, penyedia platform harus memberi tahu otoritas Australia atas munculnya konten seperti itu.

Jika penyedia platform gagal memenuhi aturan ini, mereka akan dijatuhi denda maksimal 10% dari keuntungan setahun terakhir. Selain itu, petinggi penyedia platform juga dapat dijatuhi hukuman jika terus gagal mematuhi aturan ini. Dendanya baik berupa denda sebesar AUS$ 2,1 juta atau hukuman penjara maksimal tiga tahun.

Jaksa Agung Australia, Christian Porter, menyebut lahirnya aturan ini untuk mengingatkan penyedia platform media sosial akan tanggung jawab mereka dalam menyeleksi konten. “Penyedia konten harus secara serius membatasi peredaran konten mengerikan di platform mereka” ungkap Porter.

Kesulitan Teknis

Akan tetapi, aturan ini mendapat tentangan keras dari perusahaan teknologi. Sejak penyusunan aturan ini, konsorsium perusahaan teknologi seperti Google, Facebook, dan Amazon menyatakan ketidaksetujuannya. Alasan utamanya adalah sulitnya mengontrol aliran konten dari pengguna internet.

“Dengan begitu besarnya konten yang diunggah ke internet tiap detik, mengontrol konten adalah hal yang sangat kompleks” ungkap Sunita Bose, pimpinan Digital Industry Group yang mewakili perusahaan teknologi. “Harus ada pembicaraan mendetail antara industri, ahli hukum, media, dan publik; namun hal ini tidak dilakukan” tambah Bose.

Aturan ini juga memiliki beberapa aturan yang rancu. Contohnya aturan ini mengharuskan konten bermasalah untuk ditarik secara cepat (expeditiously), namun tidak menyebut durasi tepatnya. Hal ini berbeda dengan aturan di Jerman yang memberi batas waktu 24 jam.

Batas waktu 24 jam pun masih dirasa sulit bagi perusahaan teknologi. Saat ini, pengawasan konten negatif dilakukan melalui kombinasi “mesin” (yang menggunakan algoritma khusus untuk mendeteksi sebuah video) dan manusia. Namun terlihat dari video penembakan di ChristChurch, sistem pengawasan ini masih kesulitan menangkap semua konten negatif.

Pasalnya pengguna memiliki “kreativitas” tersendiri untuk mengecoh sistem ini. Ada yang membalik video, mengubah warnanya, sampai menvideokan ulang video tersebut. Pendek kata, sangat sulit bagi penyedia platform menangkap semua video bermasalah.

Soal konsekuensi hukum berupa denda juga menjadi pertanyaan sendiri. Aturan ini menyebut Pemerintah Australia bisa menerapkan denda sebesar 10% dari keuntungan tahunan perusahaan teknologi. Padahal, belum ada aturan yang memungkinkan denda dijatuhkan ke perusahaan yang tidak berbasis di Australia.