Find Us On Social Media :

Belajar dari Adobe, yang Meninggalkan Penilaian Kinerja Tahunan

By Administrator, Senin, 8 April 2019 | 07:05 WIB

Ilustrasi kantor Adobe

Inti Artikel:

Penulis: Meisia Chandra, Head of Accounts & Consulting, Storm Benefits Indonesia

Sejak tahun 2012, Adobe mengklaim bahwa mereka telah menghemat lebih dari 100 ribu jam kerja para manajernya tiap tahun karena tidak lagi menerapkan penilaian kinerja tahunan. Metode apa yang diterapkan Adobe?

Perusahaan perangkat lunak yang bermarkas di San Jose, California, Amerika Serikat ini memiliki sekitar 15 ribu karyawan di seluruh dunia, di mana hanya sekitar 40 persen dari karyawan tersebut berada di kantor pusat di San Jose. Perusahaan pemilik produk-produk populer, seperti Photoshop, Acrobat Reader, Portable Document Format (PDF), dan Adobe Creative Suite ini pada tahun 2012 memutuskan untuk meninggalkan penilaian kinerja tahunan dan menggantinya dengan solusi baru yang mereka namakan Check-in.

Check-in adalah nama untuk pendekatan pengelolaan kinerja di Adobe yang menggantikan review tahunan dengan dialog terus menerus antara manajer dan karyawan. Sejak meluncurkan Check-in, selain menghemat waktu para manajer, Adobe juga mengklaim penurunan jumlah karyawan yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri (voluntary attrition). Sebaliknya involuntary departures meningkat, karyawan-karyawan yang tidak memenuhi ekspektasi akan dengan sendirinya harus mundur.

Survei kepuasan karyawan yang dilakukan Adobe membuktikan kesuksesan Check-in. Seperti dikutip dari situs web Adobe, terjadi peningkatan 10 persen pada jumlah karyawan yang mengatakan akan merekomendasikan Adobe sebagai tempat bekerja terbaik, peningkatan 10 persen pada jumlah karyawan yang mengatakan mereka menerima umpan balik (feedbackyang mendukung kinerja mereka, dan 5 persen peningkatan dalam jumlah karyawan yang mengatakan manajer mereka terbuka untuk menerima umpan balik dari mereka.

Prinsip ini sesuai dengan pendekatan OKR (Objective Key Result) yang dipopulerkan oleh Google dan saat ini banyak digunakan oleh perusahaan teknologi.

Ringan, fleksibel, dan transparan, dengan struktur yang minimal dan tidak banyak paperwork, Check-in memiliki tiga ciri berikut:

Berdayakan Para Manajer

Pada akhir tahun tidak ada lagi pemeringkatan karyawan menggunakan distribusi paksa (forced-distribution), dan digantikan oleh Rewards Check-in tahunan. Para manajer dilatih untuk menimbang kompensasi berdasarkan kinerja karyawan, dampaknya pada bisnis, kelangkaan skill karyawan di pasaran, dan kondisi pasar. Seperti dikisahkan dalam buku Measure What Matters: How Google, Bono, and the Gates Foundation Rock the World with OKRs, dalam menimbang kompensasi karyawan, tidak ada pedoman yang baku.

Dengan begini, Adobe sangat memberdayakan para manajer. Mengutip Donna Morris, Executive Vice President Customer & Employee Experience Adobe, mereka memperlakukan tiap manajer sebagai business leader. Para manajer diberikan alokasi dana untuk insentif dan equity, sejumlah uang yang bisa didistribusikan sesuai dengan pertimbangan mereka.

Manajer merasa berdaya karena bertanggung jawab atas laporan mereka. Karyawan juga diberdayakan karena menyadari mereka turut andil dalam proses bisnis.

Menurut Morris, Adobe didirikan berdasarkan empat nilai utama, yaitu: genuine, exceptional, innovative, dan involved. Proses penilaian kinerja tahunan bertentangan dengan setiap nilai utama tersebut. Karena itu Morris menjadi pelopor penghapusan penilaian kinerja tahunan dan menggantinya dengan Check-in.

Check-in membantu Adobe menghidupkan keempat nilai utama tersebut.

Strategi Pelatihan dan Pembiasaan

Pada awalnya, Check-in diperkenalkan melalui serangkaian pelatihan via web. Pendekatan ini diperkenalkan dimulai dari para leader senior, lalu manajer, dan kemudian kepada seluruh karyawan.

Materi pelatihan (yang disiarkan secara konferensi dengan level partisipasi karyawan sebesar 90 persen) juga didukung oleh employee resource center, di mana terdapat template dan video-video yang membantu karyawan mengembangkan keahlian dalam memberi umpan balik yang membangun.

Dengan pendekatan seperti ini, karyawan Adobe pun harus terbiasa dengan dialog terbuka. Dalam hal ini para leader harus menjadi contoh. Mereka sendiri harus terbuka pada feedback, dan merasa nyaman bila dipertanyakan tentang visi mereka.

Di Adobe, pemberian umpan balik yang sangat spesifik dilakukan setiap enam minggu. Pada prakteknya, umpan balik dapat diberikan tiap minggu. Sehingga kapan saja tiap orang mengetahui bagaimana kinerja mereka dan kontribusi mereka kepada perusahaan. Pemberian feedback sebagian besar dari manajer kepada karyawan, tetapi bisa juga sebaliknya, yaitu dari karyawan kepada manajer. Dan karena struktur Adobe sangat matrix, feedback juga diberikan secara peer-to-peer.

Perhatikan Tiga Hal

Tentu saja, menyukseskan Check-in bukan tanpa kendala atau tantangan. Pada awalnya sempat terjadi kebingungan dan ketidakpastian karena tidak ada pedoman yang baku. Selain itu, umpan balik tidak selalu mudah diterima.

Dari pengalaman Adobe, Morris menggarisbawahi ada tiga hal yang diperlukan agar sistem pengelolaan kinerja yang terus-menerus ini dapat berjalan dengan baik:

Morris menambahkan bahwa dalam memberikan pelatihan, Adobe tidak mengirim karyawannya keluar untuk mengikuti kursus-kursus. Tetapi mereka membuat sesi-sesi daring (online) selama satu jam, dengan skema role-playing. Misalnya, cara memberikan umpan balik yang sulit.

Pada akhirnya, menurut Morris, telah terjadi perubahan budaya di Adobe di mana karyawan menjadi terbiasa memberi dan menerima umpan balik. Pada awalnya pemberian umpan balik memang berat, tetapi bila dilakukan dengan baik, umpan balik dapat menjadi hadiah terbaik yang bisa diberikan, karena hal tersebut mengubah pola pikir dan perilaku menjadi lebih positif dan bernilai. Lingkungan yang diciptakan adalah lingkungan di mana tidak apa-apa melakukan kesalahan, karena dengan membuat kesalahan itulah kita dapat tumbuh.

Sukses tidak dibentuk dengan form, ranking, dan rating. Sukses juga tidak didorong oleh kebijakan dan program-program. "Tetapi mekanisme untuk sukses terletak pada pembangunan kapabilitas dan memberdayakan karyawan untuk berkontribusi kepada perusahaan" ungkap Donna Morris.