Find Us On Social Media :

Teknologi 5G Dikhawatirkan akan Kacaukan Sistem Prakiraan Cuaca

By Wisnu Nugroho, Minggu, 19 Mei 2019 | 10:12 WIB

Implementasi 5G dikhawatirkan akan merusak tatanan prakiraan cuaca

Penerapan teknologi di seluruh dunia 5G tinggal menunggu waktu. Korea Selatan telah resmi merilis April 2019 kemarin, disusul negara lain seperti AS dan China.

Akan tetapi, penerapan teknologi 5G dikhawatirkan akan mengganggu sistem prakiraan cuaca. Interferensi frekuensi yang digunakan teknologi 5G diprediksi akan mengurangi akurasi sistem prakiraan cuaca sampai 30%. Jika itu terjadi, konsekuensinya cukup fatal. Contohnya informasi akan terjadinya badai baru akan didapat 2-3 hari sebelumnya; tidak jauh-jauh hari seperti yang bisa dilakukan saat ini.

Pokok permasalahan terletak pada frekuensi 24 GHz yang menjadi salah satu frekuensi 5G.

Seperti diungkapkan Wired, saat terjadi penguapan air, proses ini akan menghasilkan sinyal lemah di frekuensi 23,8GHz. Sinyal ini kemudian ditangkap satelit prakiraan cuaca untuk kemudian dimasukkan ke sistem pemodelan yang memperkirakan pergerakan awan dan badai. Jika frekuensi 5G menggunakan frekuensi 24 GHz, sinyal dari proses alam di 23,8 GHz tersebut akan sulit dideteksi.

Ada beberapa solusi yang sedang dipertimbangkan untuk mengatasi problema ini. Salah satunya adalah menurunkan kekuatan sinyal dari antena 5G sehingga tidak mengganggu kerja satelit cuaca. Solusi lain adalah menggunakan frekuensi lain. Teknologi 5G memungkinkan memiliki rentang frekuensi yang besar, mulai 26 sampai 39 GHz.

Akan tetapi selain frekuensi 23,8GHz, dunia meteorologi juga memiliki beberapa frekuensi penting lain. Yaitu frekuensi untuk mendeteksi hujan dan salju (36-37 GHz), temperatur atmosfer (50,2-50,4 GHz) dan keberadaan awan dan es (80-90 GHz).

Untung-Rugi Frekuensi Tinggi

Jika ditarik ke belakang, teknologi 5G sebenarnya tidak harus menggunakan frekuensi tinggi di atas 6 GHz (atau yang dikenal dengan milimeter wave). Frekuensi rendah seperti 3,5GHz sebenarnya juga bisa digunakan.

Namun kembali ke hukum fisika dasar, kecepatan berbanding lurus dengan frekuensi. Semakin tinggi frekuensi, semakin tinggi kecepatan yang bisa diantarkan. Jika menggunakan frekuensi 3,5GHz, kecepatan 5G relatif tidak banyak berubah dibanding 4G LTE yang ada saat ini. Karena itu, banyak pihak mendorong penggunaan milimeter wave untuk implementasi 5G, meski mengancam tatanan prakiraan cuaca dan kesehatan (seperti kami tulis di sini).

Penggunaan milimeter wave sebenarnya juga memberatkan operator dari sisi investasi. Pasalnya sinyal milimeter wave sangat mudah hilang karena terkena halangan, sehingga membutuhkan BTS lebih banyak dibanding 4G. Belum lagi konsumsi daya BTS 5G yang lebih tinggi, sehingga biaya operasional juga akan lebih tinggi. Karena itulah skenario paling masuk akal saat ini adalah menggunakan frekuensi 3,5GHz di tahap awal.

Pemerintah Indonesia sendiri saat ini sedang menggodok rencana implementasi 5G di frekuensi 3,5GHz dan 26 GHz.