Find Us On Social Media :

OutSystems: Industri Pengembangan Aplikasi Siap untuk Disrupsi Masif

By Rafki Fachrizal, Senin, 27 Mei 2019 | 12:15 WIB

Ilustrasi OutSystems

Baru-baru ini, OutSystems telah mempublikasikan laporan riset tahunannya yang ke-6 mengenai keadaan industri pengembangan aplikasi dan tantangan yang dihadapi tim pengembangan dan peluncuran aplikasi.

Laporan yang bertajuk “The State of Application Development, 2019: Is IT Ready for Disruption?” ini mengungkapkan secara rinci hasil survei lebih dari 3.300 praktisi IT di berbagai industri di seluruh dunia, 17% di antaranya berasal dari Asia Pasifik.

“Survei tahun 2019 kami menunjukkan bahwa banyak departemen IT sedang menghadapi berbagai disrupsi terkait dengan transformasi digital dan pengembangan aplikasi,” ujar Steve Rotter, CMO OutSystems.

“Ancaman disrupsi digital dan kebutuhan akan transformasi digital telah menjadi pendorong strategi IT selama bertahun-tahun. Ditambah dengan prediksi situasi ekonomi global yang tidak menentu, menjadi jelas mengapa saat ini para pemimpin perusahaan sangat mementingkan bisnisnya bersifat agile,” tambahnya.

Laporan riset ini berisi wawasan mendalam dari para manajer IT, enterprise architect, dan pengembang yang membahas berbagai topik.

“Transformasi digital mendominasi strategi bisnis saat ini, menyebabkan tingginya permintaan pengembangan web dan mobile. Selain itu, kecepatan dan ketangkasan (agility) menjadi jauh lebih penting dibanding sebelumnya”, jelas Rotter.

Laporan OutSystems ini menggali prioritas dan tantangan pengembangan dan peluncuran aplikasi, serta strategi yang digunakan tim IT untuk mempercepat peluncuran.

Berdasarkan laporan terbaru Outsystems, inilah enam temuan utama yang berdampak pada semua praktisi IT:

  1. Permintaan pengembangan aplikasi (app dev) meningkat tajam: Jumlah aplikasi yang dijadwalkan untuk peluncuran di tahun 2019 naik sebanyak 60%, menurut para responden global, 38% di antaranya berencana melakukan peluncuran 25 atau lebih aplikasi tahun ini. Di Asia Pasifik, 69% responden berencana meluncurkan 10 atau lebih aplikasi di tahun 2019, dengan 52% di antaranya menargetkan peluncuran sebanyak 50 atau lebih aplikasi di tahun berikutnya.
  2. Waktu pengembangan sempit: 46% responden di Asia Pasifik mengungkapkan waktu rata-rata untuk meluncurkan aplikasi berbasis web atau mobile sebanyak lima bulan atau lebih.
  3. Backlog masih ada: 63% praktisi IT di Asia Pasifik mengungkapkan masih adanya backlog pengembangan aplikasi, dan 16% di antara responden ini menghadapi backlog sebanyak lebih dari 10 aplikasi.
  4. Kesulitan mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia (SDM): Sebagian besar responden sudah mempekerjakan pengembang, 75% responden global mengungkapkan kesulitan menemukan SDM di bidang pengembangan aplikasi, dan hanya 36% organisasi di Asia Pasifik yang memiliki tim pengembangan aplikasi yang lebih besar dari tahun lalu. Data menunjukkan retensi tenaga pengembangan aplikasi adalah masalah yang juga serius.
  5. Praktik-praktik agile masih lambat matang: 69% organisasi di Asia Pasifik telah berinvestasi di layanan dan perangkat agile di tahun lalu. Namun demikian, rata-rata nilai agile-maturity (ketangkasan dan kematangan) cukup rendah, yaitu sebesar 2,76 dari total nilai 5. Hal ini menunjukkan sebagian besar organisasi di wilayah ini masih berada dalam proses mendefinisikan proses-proses agile.
  6. Fokus pada pelanggan terus meningkat: Tahun lalu, lebih dari 69% organisasi di Asia Pasifik telah berinvestasi di praktik-praktik yang fokus pada pelanggan, termasuk di dalamnya pemetaan perjalanan pelanggan, design thinking dan lean UX. Untuk aplikasi yang akan dikembangkan di tahun 2019, aplikasi yang akan digunakan langsung oleh pelanggan atau mitra bisnis digolongkan sebagai yang paling penting.

Low-Code Telah Menjadi Arus Utama

Salah satu temuan utama riset ini adalah low-code tidak hanya diperuntukkan bagi inovator dan pengadopsi awal.

43% responden di Asia Pasifik mengungkapkan bahwa organisasinya sudah menggunakan platform low-code, dan 12% mengungkapkan bahwa organisasinya telah berencana menggunakannya dalam waktu dekat. 

Analisis dalam laporan ini mengidentifikasi bahwa organisasi yang menggunakan low-code:

  1. 26% cenderung menggambarkan organisasinya puas atau cukup puas dengan kecepatan pengembangan aplikasi
  2. 11% cenderung meluncurkan aplikasi web dalam empat bulan atau kurang
  3. 15% cenderung meluncurkan aplikasi mobile dalam empat bulan atau kurang
  4. 20% cenderung menilai agile-maturity perusahaannya di tingkat 3, 4 atau 5
  5. 12% cenderung menyebut backlog pengembangan aplikasi telah meningkat sejak tahun lalu
  6. Melaporkan peningkatan skor penilaian mandiri sebanyak 16% untuk kematangan transformasi digital

“Temuan kami dalam laporan ini menunjukkan sebuah tren yang telah kami observasi selama beberapa tahun ke belakang - penggunaan platform pengembangan low-code untuk mendukung inovasi, peluncuran yang berkelanjutan, dan manajemen sumber daya berbakat di berbagai perusahaan,” ungkap Mark Weaser, Regional Vice-President, Asia Pasifik, OutSystems.

“Tidak hanya untuk inovator dan pengadopsi awal, platform pengembangan low-code telah menyeberangi jurang pemisah dan sedang menuju adopsi skala besar di Asia Pasifik.”