Pada sebuah konferensi di tahun 2010, Jonathan Rothberg terkesima dengan penjelasan Max Tegmark, profesor fisika dari MIT. Kala itu, Tegmark menjelaskan metode menghitung energi dari bintang di antariksa berdasarkan gambar dari ribuan foto radio teleskop. Menggunakan teknik yang disebut butterfly network, kunci dari teknik ini adalah membagi pemrosesan data secara efisien untuk mendapatkan gambar yang berkualitas.
Rothberg pun langsung mendatangi Tegmark dan ingin menggunakan teknik ini. Bukan untuk memotret bintang, namun membuat alat pemindai tubuh yang mudah digunakan. Rothberg memiliki seorang putri yang menderita penyakit tumor dan membutuhkan perangkat pemindai untuk mengecek kondisi putrinya tiap hari.
Dari pertemuan inilah, lahir produk revolusioner Butterfly IQ.
Apa itu Butterfly IQ
Butterfly IQ pada dasarnya adalah alat portable ultrasound imaging device atau alat pemindai tubuh yang mudah dibawa. Memiliki ukuran seperti pisau cukur elektrik, Butterfly IQ dapat melakukan pemindaian layaknya mesin USG atau MRI. Cukup menghubungkan Butterfly IQ ke iPhone, dokter dapat melihat hasil pemindaian di layar iPhone tersebut.
Terwujudnya Butterfly IQ tentu saja menjadi terobosan teknologi medis yang revolusioner. Selama ini, akses publik terhadap mesin pemindai kesehatan relatif terbatas. Teknologi mesin pemindai tradisional menggunakan material kristal yang mahal, sehingga harga satu buah mesin bisa mencapai ratusan juta rupiah. Belum lagi bentuknya yang besar sehingga hanya bisa digunakan di lingkungan rumah sakit.
Sementara di Butterfly IQ, prinsip kerja kristal tersebut digantikan oleh sebuah chip. Chip ini terdiri dari ribuan transducer, yaitu komponen yang mengirim sekaligus membaca gelombang suara dan mengubahnya menjadi gambar 3D. Yang menarik, chip ini dapat membaca rentang frekuensi yang lebar, sehingga bisa digunakan untuk memindai seluruh bagian tubuh. Hal ini berbeda dengan mesin ultrasound tradisional, yang hanya digunakan untuk bagian tubuh tertentu.
Karena berbasis smartphone, kemampuan Butterfly IQ juga dapat dikombinasikan dengan teknologi lain. Contohnya, Butterfly IQ memanfaatkan Artificial Intelligence dan Augmented Reality untuk meningkatkan kemudahan penggunaan.
Selama ini, butuh pelatihan panjang untuk mengajarkan dokter atau suster mengenai cara mengoperasikan mesin pemindai tradisional. Namun di Butterfly IQ, setiap orang bisa mempelajarinya dengan mudah. Memanfaatkan kamera di iPhone, sistem Butterfly IQ bisa mendeteksi posisi perangkat dan tubuh pasien. Nantinya, teknologi AR dapat mengarahkan area tubuh yang dituju untuk melakukan pemeriksaan.
Cara ini pun terbilang efektif. “Kami pernah melakukan studi dengan meminta orang di jalan melakukan pemindaian jantung” cerita Rothberg. “Mereka bisa melakukannya dalam waktu 1,5 menit” tambah Rothberg.
Butterfly IQ sendiri dibandrol di harga US$2000, dengan biaya berlangganan aplikasi US$35 per bulan. Untuk tahap awal, Butterfly IQ lebih ditujukan bagi dokter dan petugas kesehatan. Namun Rothberg meyakini, di masa depan Butterfly IQ akan seperti termometer atau sfigmomanometer (alat pengukur tekanan darah), yang dengan mudah dimiliki setiap orang.
Jalan Panjang
Jonathan Rothberg sendiri adalah serial entrepreneurship yang memiliki latar belakang kuat di bidang teknologi dan kedokteran. Sebelum Butterfly IQ, Rothberg pernah mendirikan startup di bidang kesehatan seperti CuraGen, 454 Life Sciences, RainDance Technologies, dan Ion Torrent.
Butterfly IQ cukup dihubungkan ke iPhone untuk memindai organ dalam pasien
Saat akan mendirikan Butterfly IQ, Rothberg meminta Max Tegmark merekomendasikan murid terbaiknya. Tegmark pun mengajukan Nevada Sanchez, seorang hardware engineer yang pernah bekerja di Microsoft dan Nvidia. Selain itu, Rothberg juga merekrut John Martin, seorang dokter bedah untuk menjabat sebagai Chief Medical Officer.
Martin adalah orang pertama yang merasakan manfaat Butterfly IQ. Ia menggunakan perangkat ini untuk mendeteksi rasa tidak enak di tenggorokannya yang sudah beberapa lama ia rasakan. Dari hasil pemindaian ini diketahui, ia menderita tumor yang berpotensi menjadi kanker. “Saya adalah bukti hidup bagaimana perangkat ini dapat menyelamatkan jiwa” ungkap Martin.
Potensi besar Butterfly IQ pun menarik minat investor. Pada September 2018 kemarin, perusahaan ini mendapat pendanaan sebesar US$250 juta. Dengan pendanaan ini, valuasi Butterfly IQ ditaksir mencapai US$1,25 miliar.
Investor yang terlibat pun terbilang perusahaan raksasa. Contohnya Fidelity Investment (salah satu perusahaan asset management terbesar di AS) dan Fosun Pharma (produsen obat terbesar di China). Gates Foundation pun ikut berinvestasi di Butterfly IQ, karena melihat potensi perangkat ini dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat di negara berkembang.
Butterfly IQ sendiri saat ini telah mendonasikan perangkatnya ke 13 negara berpendapatan rendah, seperti Uganda. Awalnya, Butterfly IQ lebih ditujukan untuk mendeteksi penyakit pneumonia atau paru-paru basah yang menjadi pembunuh nomor satu. Namun dalam implementasinya, perangkat ini bisa mendeteksi berbagai penyakit.
Seperti diberitakan New York Times, Butterfly IQ dapat mendeteksi seorang bayi yang memiliki sumbatan di saluran kemih atau gondok di seorang wanita yang menekan saluran pernapasan meski pasien belum merasakan kesulitan bernafas.
“Tim kami terdiri dari engineer dan dan computer science yang ingin seperti dokter yang bisa menyelamatkan nyawa manusia” ungkap Rotherg. “Tentu saja kami tidak bisa, namun mendengar Butterfly IQ dapat membantu kerja dokter adalah sebuah kebanggaan tersendiri bagi kami”.