Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong pemerintah untuk menerbitkan undang-undang perlindungan data pribadi supaya dapat menjerat pelaku atau platform fintech ilegal yang menyalahgunakan data tersebut.
"Kami ingin melindungi data pribadi ini. Sayangnya, kami melihat tidak ada undang-undang khusus yang melindungi data pribadi ini," kata Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi di Bekasi, Jawa Barat.
Hendrikus mengatakan OJK ingin melindungi tiga area di fintech peer to peer lending (P2P) yakni mencegah penyalahgunaan dana masyarakat dari praktik perbankan bermodus penipuan atau skema ponzi serta pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Kedua area tersebut, lanjutnya, sudah diatasi dengan kebijakan virtual account serta dana tidak boleh terendap selama dua hari dan harus disalurkan oleh pemberi dana kepada nasabah pinjaman online.
Sedangkan masalah pencucian uang dan pendanaan terorisme sudah ada regulasinya yakni UU UU Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT).
"Jadi sebetulnya area satu dan tiga sudah selesai, hanya tinggal area kedua yang belum. Area perlindungan data digital ini yang membuat kami tertahan karena belum ada undang-undangnya," kata Hendrikus.
Pemerintah harus menjamin bahwa data digital pribadi yang digunakan tidak disalahgunakan, karena sebenarnya data digital itu sangat mahal dan itu cenderung menggoda para penyelenggara e-commerce, e-payment, dan berbagai penyelenggara digital lainnya.
Baca Juga: Hadirkan Solusi Fintech Baru, LINE Pay Jalin Kerja Sama dengan Visa
Hendrikus pun menginginkan Indonesia bisa memiliki undang-undang seperti General Data Protection Regulation (GDPR) yang diberlakukan oleh Uni Eropa.
Regulasi tersebut mengatur bahwa pihak penyelenggara yang mengakses data pribadi dan lembaga penagihan yang bekerja sama dengan penyelenggara itu, harus bertanggung jawab serta tidak bisa lari dari tanggung jawab ketika mereka terbukti menyalahgunakan data pribadi nasabahnya.
Selain itu, GDPR juga mewajibkan penyelenggara fintech untuk menjelaskan relevansi peruntukan dari data pribadi nasabah yang diaksesnya, kemudian menyatakan bahwa data pribadi nasabah tidak boleh dimiliki selamanya oleh penyelenggara serta nasabah berhak untuk mengakses kembali dan menghapus data pribadinya yang diakses oleh penyelenggara.
"Undang-undang seperti GDPR ini sudah diberlakukan di Singapura, Malaysia, dan Australia. Di kita yang belum ada dan hanya mengacu pada undang-undang ITE yang belum mengatur perlindungan data pribadi," ujarnya.
"Mengapa belum mengatur? Karena undang-undang tersebut terlalu luas. Mestinya ada undang-undang perlindungan data pribadi. Ini yang sedang digodok, harapan kami undang-undang ini diberikan prioritas tingkat tinggi kalau kita mau industri fintech berkembang dengan cepat di Indonesia," katanya.
Baca Juga: Pemerintah Kasih Solusi ini Atasi Persaingan Fintech vs Perbankan