Beberapa waktu lalu, layanan pesan instan Telegram dikabarkan sempat tumbang dan mengalami gangguan pekan lalu.
Belakangan, CEO Telegram Pavel Durov menyebut gangguan tersebut disebabkan oleh serangan siber yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok.
Melalui akun Twitter miliknya Durov mengatakan bahwa serangan tersebut dilakukan oleh para peretas yang terafiliasi dengan Tiongkok.
Hal tersebut diketahui dari alamat IP para peretas yang teridentifikasi berasal dari Negeri Tirai Bambu.
Menurut Durov, para peretas menyerang server Telegram dengan menggunakan teknik Distributed Denial of Service (DDoS), yakni membanjiri server dengan trafik sehingga akhirnya tak kuat menangani beban jaringan dan tumbang.
Durov juga menuding bahwa serangan siber itu dilakukan berbarengan dengan adanya aksi protes di wilayah Hong Kong terkait RUU ekstradisi.
"Alamat IP kebanyakan berasal dari China. Secara historis, semua DDoS dari aktor negara berukuran besar (200-400 Gigabyte trafik sampah per detik) yang kami alami bertepatan dengan protes di Hong Kong. Kasus ini bukanlah pengecualian," kata Durov.
Telegram sendiri saat ini menjadi salah satu aplikasi pesan instan yang populer di dunia. Telegram dikenal ketat melindungi privasi penggunanya dari intipan pihak luar lewat fitur enkripsi.
Karena fitur inilah Telegram kerap digunakan untuk kepentingan tertentu yang bersifat rahasia seperti misalnya untuk menyusun rencana serangan teroris atau melancarkan gerakan protes pada pemerintah.
Oleh karena itulah muncul dugaan bahwa pihak yang terlibat pada aksi protes di Hong Kong beberapa waktu lalu menyusun rencana aksi tersebut melalui Telegram. Sehingga, serangan pada server Telegram dapat menghambat aksi yang bersangkutan seperti dirangkum Phone Arena.
Pemerintah Tiongkok sendiri membantah tudingan bahwa mereka berada di balik serangan tersebut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya serangan itu.