Media sosial berbagi video, TikTok, diketahui akan melakukan penyensoran pada konten-konten yang mengkritik pemerintah China.
Kebijakan tersebut terungkap dari sejumlah dokumen yang bocor kepada media asal Inggris, The Guardian.
Dokumen tersebut berisi ketetapan dan pedoman moderasi konten yang berlaku pada platform TikTok.
Dalam dokumen tersebut, aplikasi yang berbasis di China menyebut akan menyensor video yang berhubungan dengan Tiananmen Square, kedaulatan Tibet, dan Falun Gong.
Tiananmen Square sendiri merupakan lokasi unjuk rasa besar-besaran pada tahun 1989 yang memakan ribuan korban jiwa sebagai akibat dari tindakan pasukan bersenjata pemerintah China.
Kemudian Tibet, saat ini masih menjadi wilayah yang tengah memperjuangkan kemerdekaannya dari China. Sementara Falun Gong adalah sebuah organisasi religi yang dilarang di Negeri Tirai Bambu.
Menurut catatan The Guardian, sebagian besar peraturan yang tercantum dalam dokumen itu dikategorikan sebagai "hate speech dan religion".
Dokumen itu juga menyebutkan soal pelarangan konten yang mengkritik pemerintah China serta konten dengan topik kontroversial yang melibatkan sekte agama dan kelompok etnis tertentu.
Beberapa contoh konten yang disebut dalam dokumen itu adalah soal genosida di Kamboja, konflik Islam, kemerdekaan Irlandia Utara dan konflik etnis kulit hitam dan kulit putih seperti dikutip Mashable.
Konten-konten yang mengandung unsur tersebut akan dianggap melanggar aturan dan dihapus keberadaannya dari platform tersebut.
ByteDance yang merupakan induk perusahaan dari TikTok juga sudah mengonfirmasi keaslian dokumen tersebut.
Namun mereka berdalih bahwa dokumen itu sudah tidak relevan dan kebijakan moderasi konten TikTok sudah diubah pada bulan Mei lalu.
"Pada mulanya TikTok mengambil pendekatan untuk meminimalisasi konflik pada platform, dan pedoman moderasi kami memungkinkan adanya hukuman untuk konten yang memicu konflik, seperti isu agama atau etnis yang mencakup sejumlah wilayah di dunia," kata pihak TikTok.
"Ketika TikTok mulai merambah pasar global, kami sadar bahwa ini bukan pendekatan yang benar. Kami mulai bekerja untuk memberdayakan tim lokal yang punya pemahaman berbeda tentang setiap pasar," pungkas mereka.