Kanker adalah salah satu penyakit yang menyebabkan angka kematian terbesar di dunia. Di banyak negara, termasuk Indonesia, kanker payudara dan kanker serviks merupakan “pembunuh” utama perempuan. AI berpotensi membantu deteksi dini terhadap kanker.
Menurut data Global Cancer Observatory 2018 dari World Health Organization (WHO), kasus kanker yang paling banyak terjadi di Indonesia adalah kanker payudara, yakni sebanyak 58.256 kasus atau 16,7% dari total 348.809 kasus kanker. Kanker serviks (leher rahim) merupakan jenis kanker kedua yang paling banyak terjadi di Indonesia sebanyak 32.469 kasus atau 9,3% dari total kasus.
Data lain yang datang dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa angka kanker payudara di Indonesia mencapai 42,1 orang per 100 ribu penduduk. Rata-rata kematian akibat kanker ini mencapai 17 orang per 100 ribu penduduk. Sementara itu, angka kanker serviks di Indonesia mencapai 23,4 orang per 100 ribu penduduk. Rata-rata kematian akibat kanker serviks mencapai 13,9 orang per 100 ribu penduduk. Kemenkes juga menyatakan bahwa 70% dari semua kasus kanker di Indonesia baru diketahui pada stadium lanjut.
Banyak kanker dimulai dengan perubahan yang sangat kecil sehingga penderita tidak menyadari gejalan-gejalanya. Sementara itu, organisasi kesehatan menghadapi tantangan keterbatasan anggaran tapi harus menemukan cara baru untuk meningkatkan efisiensi operasional sambil memenuhi, atau bahkan melampaui, standar tertinggi dalam merawat pasien. Oleh karena itu, teknologi diharapkan dapat memberikan layanan yang lebih baik bagi pasiennya.
Salah satu langkah yang bisa diambil saat ini adalah mengembangkan program Artificial Intelligence (AI) yang dapat dilatih dengan deep learning untuk melihat perubahan paling awal dalam struktur sel yang biasanya berkembang menjadi sel kanker.
Program-program ini dapat memperingatkan para ahli onkologi, yang kemudian dapat memandu protokol perawatan pasien dengan akurasi dan efektivitas yang lebih besar. Penilaian risiko kanker payudara yang menggunakan teknologi AI-automated terbukti dapat mengurangi biaya hingga 5% dibandingkan dengan tes genomik saat ini.
Dengan fokus untuk melakukan intervensi awal, perawatan kesehatan preventif, dan transformasi digital, organisasi kesehatan kini semakin meningkatkan adopsi mereka terhadap teknologi medical imaging. Kemajuan dalam teknologi ini, termasuk kemampuan 3D dan 4D, real-time analytics, dan pemrosesan yang dipercepat oleh unit pemrosesan grafis (GPUs), memberi alat yang kuat bagi ahli radiologi untuk membuat diagnosis yang lebih cepat dan lebih akurat serta membantu mencegah ahli radiologi mengalami kelelahan.
Aplikasi AI khusus dapat mendukung ahli radiologi dan mencegah kesulitan dengan "menyusun" tumpukan gambar. Caranya, teknologi AI akan dengan cepat memilah gambar normal dan melakukan flagging bagi gambar-gambar pengecualian. Hasilnya, ahli radiologi dapat menemukan gambar yang menunjukkan anomali atau indikator penyakit lebih cepat dan kemudian fokus untuk mendiagnosa dan memberi saran pengobatan, tanpa harus berlama-lama menyaring gambar. Sebagai contoh, AI memungkinkan hasil MRI untuk mempercepat rekonstruksi gambar hingga 100 kali, dan dengan akurasi 5 kali lebih besar.
“Berdasarkan data NVIDIA, dengan AI, para ahli onkologi akan dapat mengurangi kesalahan diagnosa dalam mendeteksi kanker payudara hingga 85%. Di NetApp, kami percaya bahwa AI dapat menjadi salah satu jawaban untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, meningkatkan efisiensi, mempercepat proses diagnosa, dan mengurangi biaya. Dari medical imaging hingga pembedahan yang dibantu robot hingga penemuan obat, AI semakin baik dan semakin canggih untuk membantu sektor ini menjadi lebih baik,” kata Ana Sopia, County Manager, NetApp Indonesia.
Potensi AI untuk perawatan kesehatan:
- Memungkinkan untuk meninjau ribuan dan jutaan catatan atau gambar dalam waktu yang lebih singkat dan menerapkan kognisi untuk membuka kunci data dalam jumlah besar.
- Mendukung diagnosa yang berkualitas melalui pelatihan dengan deep learninguntuk mendeteksi perubahan sedini mungkin dalam struktur sel yang biasanya berkembang menjadi sel kanker.
- Mendukung ahli radiologi dan mencegah perkerjaan yang menguras tenaga dengan "menentukan" jumlah gambar yang berlebihan, dengan cepat memilah gambar normal dan menandai pengecualian.
Dua Tantangan Data
Keberhasilan AI sepenuhnya bergantung pada akses ke sejumlah besar data yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola, mengembangkan wawasan prediktif, dan memungkinkan sistem otonom yang semakin akurat, baik ketika digunakan untuk memperkuat medical imaging atau pengurutan genom.
Namun masalahnya, data ini bisa berada di mana saja, secara inheren dinamis, dan seringkali disimpan berbagai format. Menurut para pemimpin di industri TI, membuat pengelompokan data dan kompleksitas teknologi menjadi dua tantangan terbesar untuk memindahkan proyek AI menjadi produksi. Oleh karena itu, dengan data fabrics, organisasi akan dapat mengakses data mereka di mana saja dengan kontrol, menghasilkan dampak bisnis yang lebih baik, dalam hal ini diagnosis dan keputusan yang lebih baik.
“Bersama dengan mitra kami, NVIDIA, cloud-connected all-flash storage dari NetApp akan menyederhanakan, mempercepat, dan mengintegrasikan data di pipeline untuk AI dan deep learning untuk membangun solusi kesehatan berbasis AI yang cerdas, kuat, dan tepercaya. Dengan strategi Data Fabric kami, kami mengintegrasikan struktur data dan merampingkan aliran data melalui semua tahapan, dari edge, cloud, hingga core. Dengan solusi NetApp untuk AI, Anda dapat dengan percaya diri memanfaatkan sumber data yang terus bertambah dengan skalabilitas dan kinerja yang hampir tidak terbatas,”tutup Ana Sopia.