Layanan pembayaran OVO kini mengaku sudah tidak lagi jor-joran membakar uang sebagai strategi marketing. OVO menyatakan telah memangkas sekitar 50% dari total anggaran marketing mereka tahun ini.
Presiden Direktur OVO, Karaniya Dharmasaputra memaparkan, selama ini OVO melakukan strategi marketing "bakar uang" melalui berbagai promo dan cashback yang sangat agresif untuk menjangkau penggunanya.
Akibat strategi bakar uang ini, OVO menderita kerugian sejak berdiri dua tahun lalu. Namun strategi ini juga terbilang berhasil, tercermin dari angka pengguna OVO yang mencapai 115 juta pengguna. Demografi penggunanya juga cukup beragam, mulai dari kalangan generasi milenial hingga usia 40-tahun.
Kini dengan basis pengguna yang sudah terbentuk, OVO pun mulai memangkas anggaran promosinya. Yang menarik, langkah ini tidak membuat pengguna OVO beralih.
Jumlah transaksi tahunan OVO justru meningkat 28 kali lipat, dan jumlah transaksi aktif setiap bulan naik 12 kali lipat setelah OVO menggandeng platform e-commerce bekerja sama.
"Kami punya marketing budget yang besar. Jadi cukup agresif. Terus terang, setahun ini kami potong anggaran marketing 50%. Dengan langkah ini, apakah kemudian volume turun? Ternyata tidak," kata Karaniya di Jakarta.
Dengan kecenderungan tersebut, Karaniysa menilai OVO telah memiliki modal penting untuk menjalankan bisnis yang berkelanjutan ke depannya.
Pasalnya, mengacu dari riset dari Morgan Stanley, pada 2027 diperkirakan tatal transaksi yang berbasis ekonomi digital diproyeksikan bakal menyentuh US$ 50 miliar atau Rp 700 triliun. Nilai itu akan ditopang dari fintech, digital wallet, dan uang elektronik (e-money).
Hal ini sejalan dengan rencana bisnis OVO untuk terus menjangkau masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan (unbankable).
"Bujet kan terus kami kurangi. Masyarakat sudah ngerti dan nyaman gunakan layanan fintech," imbuh Karaniya.