Find Us On Social Media :

Ketika AI Google Membantu Dokter Saat Mendiagnosa Kanker Payudara

By Wisnu Nugroho, Jumat, 3 Januari 2020 | 08:05 WIB

Salah satu bentuk kampanye New Zealand Breast Cancer Foundation untuk meningkatkan kesadaran bahaya kanker payudara

Google baru saja mengumumkan studi terbatas mereka dalam membantu dokter mendeteksi kanker payudara. Memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI), Google membuat algoritma yang menganalisa mammogram (atau foto X-ray payudara) untuk mendeteksi ada atau tidaknya kanker payudara.

Hasilnya cukup menjanjikan. Algoritma Google tersebut berhasil menurunkan nilai false negative sampai 9,4 persen. Angka false negative ini lebih rendah dibanding rata-rata saat ini sebesar 20%.

Sekadar mengingatkan, false negative terjadi ketika dokter menyimpulkan seorang pasien tidak terjangkit kanker payudara, padahal ternyata iya. Tingkat false negative ini relatif tinggi karena “membaca” mammogram bukan perkara mudah, bahkan bagi dokter berpengalaman sekalipun. Contohnya pada payudara yang padat (dense breast), hasil mammogram seringkali tidak mampu menangkap keberadaan tumor.

Hal inilah yang mendorong Google membuat algoritma deteksi kanker payudara berbasis AI. Awalnya, algoritma AI ini “belajar” mendeteksi keberadaan kanker payudara dengan membaca mammogram dari 76.000 pasien di Inggris dan 15.000 pasien di AS. Mammogram ini sudah diketahui hasilnya (positif terkena kanker payudara atau tidak), sehingga algoritma AI bisa belajar seperti apa hasil mammogram dari pasien yang positif terkena kanker payudara.

Setelah itu, algoritma ini kemudian diminta membuat kesimpulan atas 28.000 mammogram lain. Kesimpulan algoritma ini kemudian dibandingkan dengan kesimpulan dari dokter. Hasilnya, algoritma AI tersebut berhasil menurunkan false negative sebesar 9,4% untuk pasien AS, dan 2,7% di Inggris. Sistem juga berhasil menurunkan false positive sebesar 5,7% di AS dan 1,2% di Inggris.

Sebagai catatan, hasil false negative dan false positive di Inggris bisa lebih rendah karena standar di Inggris mengharuskan kesimpulan terkait kanker payudara harus melibatkan dua dokter.

Akurasi AI Google ini menjadi semakin impresif karena data yang dianalisis sebenarnya relatif minim jika dibanding dokter yang menjadi bahan perbandingan. Jika dokter menganalisa pasien menggunakan berbagai data (mulai dari rekam medis sampai hasil mammogram), algoritma AI Google hanya mengandalkan hasil mammogram saja. Meski begitu, studi menunjukkan algoritma AI Google berhasil mendeteksi kanker payudara secara akurat.

Akan tetapi, bukan berarti algoritma AI Google ini tidak memiliki kekurangan. Masih terdapat kasus ketika sistem AI tidak mendeteksi keberadaan tumor kanker, namun dokter menyimpulkan sebaliknya.

Karena itu, Google bertekad untuk menyempurnakan algoritma deteksi kanker payudara ini dengan melibatkan lebih banyak data. Selain itu, Google juga menegaskan AI ini lebih berfungsi membantu, dan bukan menggantikan peran dokter.

Bagaimanapun, inisiatif Google di bidang kanker payudara ini layak diapresiasi. Pasalnya kanker payudara adalah penyakit pembunuh wanita nomor dua di dunia. Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan RI menyebut kanker payudara sebagai kasus kanker terbesar di Indonesia.

Jika algoritma AI Google ini dapat mendeteksi kanker payudara lebih dini, penanganan penyakit ini pun bisa lebih mudah dilakukan.