Huawei telah menemukan solusi pengganti Google Maps untuk ponsel cerdasnya. Perusahaan teknologi raksasa asal Cina itu tak lagi bisa menggunakan produk apapun dari Google setelah masuk daftar hitam di Amerika Serikat (AS).
Untuk pengganti Google Maps, Huawei telah mendapatkan solusinya lewat jalinan kemitraan dengan perusahaan pembuat aplikasi pemetaan digital dan navigasi asal Belanda, TomTom. Bersama TomTom, Huawei menghadirkan peta, informasi lalu lintas real time, dan perangkat lunak.
Dilansir laman Techradar, juru bicara TomTom, Remco Meerstra mengatakan, kesepakatan dengan Huawei telah diselesaikan beberapa waktu lalu. Sebenarnya, Huawei menahan diri untuk membuat berita publik, karena alasan yang enggan diungkapkan.
Sementara itu, pada Agustus 2019, Huawei dilaporkan sedang membangun saingan Google Maps sendiri, yakni Map Kit yang disebut bisa memperlihatkan laporan lalu lintas terkini dan fitur augmented reality. Namun, untuk sementara, ponsel terbaru Huawei masih memberdayakan Android 10.
Kurangnya akses ke aplikasi dan layanan Google, termasuk Google Play Store, membuat produk Huawei sulit dijual di banyak wilayah di luar Asia, bahkan di negara di mana mereka diterima dengan baik, seperti Eropa dan Australia.
Jika Huawei memang terpaksa membuang Android sepenuhnya, perusahaan itu sudah memiliki cadangan sistem operasi, yakni Harmony OS. Sistem operasi open-source itu dirancang untuk bekerja di berbagai produk, seperti telepon, TV, jam tangan pintar, laptop, dan banyak lagi.
Tetap Meroket
Huawei melaporkan pendapatan tahunan senilai 122 miliar dollar AS (1.696 triliun) pada 2019. Pendapatan ini tumbuh 18 persen dibandingkan tahun 2018 (year-on-year).
Meskipun angka tersebut meleset dari target 2019 yakni sebanyak 125 miliar dolar AS, Chairman Huawei Eric Xu mengatakan revenue tersebut dicapai di tengah-tengah pemblokiran yang dilakukan Amerika Serikat.
Sebelumnya, Pemerintahan Trump khawatir Huawei menjadi ancaman keamanan nasional AS karena peralatannya dapat digunakan memata-matai untuk pemerintah China.
Karena itu, Pada bulan Mei 2019 administrasi Trump memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam Amerika Serikat yang bernana entity list. Perusahaan-perusahaan AS pun dilarang berbisnis dengan Huawei.
Salah satu akibatnya, ponsel-ponsel Huawei mulai seri Mate 30 tidak bisa lagi menggunakan aneka layanan Google, seperti Gmail dan PlayStore.
Selain itu, AS turut memblokir seluruh produk teknologi bikinan Huawei di. Mulai perangkat infrastruktur jaringan hingga ponsel terkini Huawei tidak bisa dijual di Negeri Paman Sam.
Kendati demikian, seperti pendapatannya yang tetap naik, Huawei turut mencatat kenaikan pennjualan smartphone sepanjang 2019. Jumlahnya sebanyak 240 juta unit, meningkat dari 206 juta unit tahun 2018.
Huawei bereaksi terhadap pemblokiran dengan menggugat undang-undang yang ditandatangani Presiden Donald Trump tersebut seperti dikutip Gizmochina.
Xu mengakui bahwa black list dari AS akan makin mempersulit posisi Huawei dalam upayanya "bertahan hidup dan berkembang".
Salah satu upaya Huawei bertahan adalah dengan memangkas unit dan manajer yang dinilai berkinerja kurang memuaskan. Xu mengatakan perusahaan berniat memberhentikan sekitar 10 persen manajer yang menunjukkan performa buruk tahun ini.
Tahun Sulit
Huawei mengatakan pendapatan setahun penuhnya kemungkinan akan melonjak 18 persen pada tahun 2019 menjadi 850 miliar yuan (sekitar Rp1.696 triliun), lebih rendah dari proyeksi sebelumnya karena masuknya Huawei dalam daftar hitam perdangangan AS.
Dikutip Reuters, salah seorang petinggi Huawei Eric Xu mengungkapkan angka capaian 2019 kepada karyawan dan pelanggan, sekaligus memperkirakan 2020 sebagai “tahun yang sulit.”
Dia mengatakan bahwa Huawei tidak mungkin tumbuh seperti yang terjadi pada paruh pertama 2019. Pertumbuhan pendapatan 18 persen pada 2019 lebih rendah dari 2018, saat pendapatan tahunan Huawei naik 19,5 persen.
Huawei tidak memecah angka kuartal keempat, namun menurut perhitungan Reuters berdasarkan pernyataan sebelumnya, pendapatan pada kuartal hingga akhir 31 Desember naik menjadi 239,2 miliar yuan (sekitar Rp324 triliun).
Angka tersebut naik 3,9 persen dari tahun sebelumnya, dan lebih lambat dari peningkatan 27 persen yang dilaporkan di kuartal ketiga. “Lingkungan eksternal menjadi lebih rumit dari sebelumnya, dan tekanan terhadap ekonomi global meningkat," kata Xu.
“Dalam jangka panjang, pemerintah AS akan terus menekan pengembangan teknologi — hal yang menantang bagi Huawei untuk bertahan dan berkembang,” lanjut dia.
Xu juga mengatakan bahwa Huawei mengirim 240 juta smartphone tahun 2019, naik 20 persen dari 2018. Huawei hanya menjual yang diluncurkan sebelum larangan diberlakukan.
Huawei dilarang melakukan bisnis dengan perusahaan AS, salah satunya Google yang menyebabkan pembuat peralatan jaringan telekomunikasi dan produsen smartphone itu kehilangan akses ke Android.
Pemerintah AS menuduh peralatan Huawei menimbulkan risiko keamanan nasional karena dapat digunakan oleh pemerintah China untuk memata-matai pengguna. Huawei berulang kali membantah produknya membawa ancaman keamanan.
Dalam suratnya, Xu mengatakan bahwa Huawei pada 2020 akan "habis-habisan" untuk membangun ekosistem Huawei Mobile Services, mulai dari layanan seperti penyimpanan cloud dan galeri aplikasi.
Dia menyebut ekosistem layanan itu sebagai "dasar kemampuan Huawei untuk menjual perangkat pintar di pasar di luar China.” Layanan mobile Huawei tersebut juga termasuk pengembangan sistem operasi mobile-nya sendiri yang dinamai Harmony.