Di tengah pandemi Covid-19, tak sedikit perusahaan teknologi yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk Uber.
Baru-baru ini, perusahaan ride-hailing asal Amerika Serikat tersebut dikabarkan akan merunahkan sekitar 3.700 ribu pegawainya.
Angka ini setara dengan 14 persen dari total keseluruhan pekerja Uber saat ini. Hal tersebut diketahui melalui sebuah dokumen yang diajukan oleh Uber ke Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC). Kabar tersebut juga termuat dalam sebuah e-mail yang dikirimkan CEO Uber, Dara Khosrowshahi ke sejumlah karyawannya.
Penyebab pemutusan hubungan kerja tersebut tak lain adalah penurunan jumlah penumpang Uber di tengah wabah Covid-19. Karyawan yang di-PHK disinyalir merupakan pekerja bidang customer support.
"Dengan sedikitnya orang yang pakai Uber, tak banyak pula yang bisa dilakukan oleh pekerja di bidang customer support," ujar Khosrowshahi sebagaimana dikutip DallasNews.
"Karena kami tidak tahu kapan semua ini akan pulih, kami memutuskan untuk menyesuaikan biaya operasional dengan keadaan sekarang. Ini keputusan yang sulit, namun perlu dilakukan untuk melindungi bisnis perusahaan dalam jangka panjang," tambahnya.
Selain pemangkasan jumlah karyawan, Uber juga dilaporkan bakal menutup 180 pusat mitra mereka (driver centers) yang beroperasi di seluruh penjuru dunia. Angka tersebut kurang lebih merupakan 40 persen dari seluruh driver centers yang dibangun Uber.
Di saat yang bersamaan, Uber turut membekukan proses rekrutmen karyawan baru sampai waktu yang belum ditentukan.
Pandemi Covid-19 mengguncang bisnis beberapa perusahaan ride-hailing, lantaran konsumen memang dianjurkan untuk berdiam diri di rumah demi memutus rantai penyebaran penyakit yang sedang mewabah tersebut.
Tak hanya Uber, pekan lalu, kompetitor Lyft juga sempat mengonfirmasi bahwa pihaknya bakal mem-PHK tak lebih dari 1.000 pegawai, alias 17 persen dari seluruh karyawan di perusahaan tersebut.
Alasannya pun kurang lebih sama, yakni performa bisnis perusahaan yang lesu di tengah pandemi Covid-19.