Find Us On Social Media :

Hacker Bakal Bongkar Rahasia Memalukan Trump atau Bayar Rp624 Miliar

By Adam Rizal, Selasa, 19 Mei 2020 | 11:30 WIB

Presiden AS Donald Trump menyebut inisiatif contact tracking Apple-Google bisa melanggar privasi warga AS

Sebuah kelompok hacker (peretas) terkenal mengklaim punya rahasia pribadi memalukan (dirty laundry) Presiden Trump dan mengancam akan mempublikasikannya jika tebusan ratusan miliar tidak dibayar.

kelompok peretas itu sendiri merupakan kelompok sama yang berhasil menyerang firma hukum para artis top AS dan mengklaim telah memiliki "satu ton rahasia pribadi memalukan" tentang Presiden Trump, sebagaimana dilaporkan Forbes.

Seperti yang pertama kali dilaporkan di Page Six, para peretas itu saat ini menuntut uang tebusan USD 42juta (sekitar Rp624 miliar).

Para hacker itu mengancam akan mempublikasikan informasi yang mereka miliki jika tidak dibayar dalam pekan ini.

Peretas yang bersangkutan adalah penjahat siber operator ransomware REvil. Kelompok itu, juga dikenal sebagai Sodinokibi, memiliki sejarah serangan panjang dalam menyerang banyak perusahaan di AS, termasuk serangan terhadap perusahaan Travelex.

Yang terbaru adalah serangan ransomware terhadap firma hukum yang kliennya termasuk Lady Gaga, Madonna dan Bruce Springsteen.

Dalam melakukan aksinya, kelompok peretas ini menerapkan sistem penguncian dengan sistem double-whammy yang di mana mereka mengeksfiltrasi data sebelum mengenkripsi dan menggunakan ini sebagai leverage untuk memfasilitasi pembayaran tebusan.

Jika tidak membayar, para peretas akan mempublikasikan dokumen dari hasil curiannya.

Baca Juga: Tanggapi Kebijakan Baru AS, Huawei: Amerika Serikat Akan Rugi Sendiri

Setelah mencuri 756 gigabyte data yang dilaporkan dari firma hukum Grubman Shire Meiselas & Sacks dan mem-posting dokumen yang berkaitan dengan Lady Gaga dan Madonna di dark web, para penyerang kini menaikkan nilai tebusan.

Permintaan tebusan awal adalah sebesar US$21 juta (Rp312 juta), tetapi sekarang menjadi dua kali lipat setelah tidak dibayar. Permintaan tersebut telah muncul di situs dark web.

"Orang berikutnya yang akan kami publikasikan adalah Donald Trump. Ada pemilihan umum yang sedang berlangsung, dan kami menemukan satu ton rahasia pribadi memalukan tepat waktu. Tuan Trump, jika Anda ingin tetap menjadi presiden, lebih baik berbuat baik pada orang-orang, kalau tidak, Anda bisa melupakan ambisi ini selamanya. Dan bagi Anda para pemilih, kami dapat memberi tahu Anda bahwa setelah publikasi seperti itu, Anda tentu tidak ingin melihatnya sebagai presiden. Mari kita lupakan detailnya. Batas waktu satu minggu."

FBI sedang menyelidiki insiden tersebut dan diketahui telah menyarankan firma hukum untuk tidak bernegosiasi dengan penyerang atau membayar uang tebusan karena ini akan melanggar hukum pidana federal.

Sementara itu, firma hukum Grubman Shire Meiselas & Sacks turu memberikan pernyataan atas kasus peretasan yang menimpanya.

"Kami telah diberi tahu oleh para ahli dan FBI bahwa bernegosiasi atau membayar tebusan kepada hacker adalah pelanggaran hukum pidana federal," dan menyimpulkan, "Kami berterima kasih kepada klien kami atas dukungan mereka yang luar biasa dan untuk mengakui bahwa tidak ada yang selamat dari terorisme siber saat ini. "

Pakar keamanan siber Brett Callow mengatakan kasus peretasan ini menjadi lebih menarik saat ini.

"Sejauh yang saya tahu, tidak ada serangan ransomware yang pernah digolongkan sebagai tindakan teroris, dan itu termasuk serangan terhadap kota-kota dan rumah sakit AS, sehingga organisasi selalu diizinkan untuk bernegosiasi. Saya hanya bisa berasumsi klasifikasi ini adalah karena ancaman terhadap Trump," ujar Callow.

Yang bisa menjadi berita buruk bagi penjahat REvil, begitu disamakan dengan terorisme, perburuan aktor-aktor ancaman tersebut mengambil dimensi yang sama sekali berbeda.

"Para penjahat telah menembak diri mereka sendiri dengan menyebut Trump," kata Callow, "Tidak mungkin mereka dapat mengumpulkan uang tebusan, jadi mereka mungkin akan menerbitkan sisa data atau melelangnya," tambahnya.

Baca Juga: Diduga Monopoli Iklan, Raksasa Teknologi Google Dituntut Pemerintah AS