Sejalan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada hari Jumat yang baru lalu, WWF (World Wildlife Fund for Nature) -Indonesia dan AWS (Amazon Web Services) secara resmi menyampaikan mengenai pengenalan wajah orang utan yang sedang dikembangkan. Dengan kemampuan pengenalan wajah orang utan, WWF-Indonesia bisa mempelajari perilaku orang utan secara lebih efisien. Mempelajari perilaku orang utan, baik secara kelompok maupun individu, adalah penting dalam upaya melestarikannya. Orang utan sendiri adalah salah satu satwa yang dilindungi karena terancam punah. WWF-Indonesia memperkirakan jumlahnya tinggal sekitar 4.500 ekor di tanah air.
"Salah satu yang paling menantang dalam tugas konservasi ini bagi kami adalah dalam hubungannya dengan wildlife atau spesies, tepatnya tantangan itu adalah dalam mengidentifikasi spesies itu sendiri, lebih lagi mengidentifikasi individu-individu dalam suatu spesies, mempelajari perilaku mereka, baik secara individu maupun secara kelompok," sebut Aria Nagasastra (Finance and Technology Director, WWF-Indonesia). "Dalam pilot project ini, yang kami lakukan bersama AWS, kami melakukan kegiatan ini di area konservasi yang dinamakan Punggualas. Kenapa orang utan karena kita memiliki database yang cukup kaya akan orang utan dan di sini kami menggunakan orang utan melalui metode facial recognition; pengindentifikasi melalui wajah, tampilan wajah; untuk mengidentifikasi dan memonitor individu di Punggualas," tambah Aria Nagasastra.
Dengan kemampuan pengenalan wajah yang masih bersifat prototipe tersebut, WWF-Indonesia bisa mengenali orang utan tertentu dalam waktu 30 detik sampai 1 menit. Sejauh ini terdapat lima orang utan yang dicakup pada pilot project yang dimaksud. Adapun kemampuan pengenalan wajah WWF-Indonesia itu ditenagai oleh teknologi cloud AWS.
"Di AWS, kami mendukung para konsumen not-for-profit dengan memberikan kekuatan kepada mereka melalui teknologi cloud dan membantu mereka membangun suatu dunia yang lebih baik. Dan itu adalah suatu prioritas untuk kami. Jadi, pada kasus WWF-Indonesia, Anda tahu, kami sangat senang untuk membantu mereka mengakselerasi misi mereka melestarikan orang utan," ucap Vincent Quah (Regional Head of Education, Research, Healthcare, and Not-For-Profit Organization for APAC Public Sector, Amazon Web Services).
Kemampuan pengenalan wajah orang utan yang dikembangkan WWF-Indonesia antara lain menggunakan Amazon SageMaker. Amazon SageMaker sendiri adalah jawaban AWS atas kesulitan yang dihadapi para pengembang dalam membuat, melatih, dan men-deploy model ML (machine learning). Dengan Amazon SageMaker, para pengembang bisa melakukan aneka hal tersebut dengan lebih mudah dan cepat. Misalnya untuk melatih suatu model ML, Amazon SageMaker menawarkan one-click training. AWS bahkan menyebutkan teknologi AWS memungkinkan WWF-Indonesia memangkas waktu dengan sangat signifikan untuk berbagai proses analisis; dari yang sebelumnya sampai tiga hari menjadi kurang dari sepuluh menit saja.
Skema kemampuan pengenalan wajah orang utan yang dikembangkan WWF-Indonesia dibantu AWS.
WWF-Indonesia mengklaim mengembangkan model ML untuk pengenalan wajah orang utan dari awal dengan dibantu AWS. WWF-Indonesia lalu menggunakan Amazon SageMaker untuk antara lain melatih model tersebut. Sejauh ini, tingkat keakuratan dari kemampuan pengenalan wajah orang utan yang dikembangkan WWF-Indonesia disebutkan berkisar dari 35% sampai 95%. WWF-Indonesia pun berharap partisipasi pihak-pihak lain agar bisa mengembangkan kemampuan pengenalan wajah orang utan tersebut menjadi makin baik dan juga digunakan untuk spesies/keperluan lain. Partisipasi itu juga diharapkan bisa membantu kemampuan pengenalan wajah orang utan bersangkutan nantinya di-deploy di berbagai lokasi yang sesuai di tanah air.
"Dengan adanya bantuan machine learning ini, kami berharap pekerjaan teman-teman di lapangan akan jauh dipermudah. Intinya, kalau kita bisa mengidentifikasi individual, kita bisa mengidentifikasi komunitas orang utan. Kita bisa memonitor, kita bisa mengidentifikasi perilaku mereka, baik secara individu maupun secara kelompok, dan pada gilirannya kita bisa mengelola habitat mereka. Kita bisa memberikan tempat yang layak bagi mereka dan menyediakan manfaat yang seimbang antara manusia yang berdiam di lingkungan tersebut dengan orang utan itu sendiri. Dengan adanya bantuan teknologi ini, akurasi yang tinggi dapat kita jamin, dan dengan demikian pula kesimpulan atau keputusan yang kita ambil dari hasil monitoring kita bisa dipertanggungjawabkan dengan lebih baik," pungkas Aria Nagasastra.