Find Us On Social Media :

Usai India, AS Bakal Blokir TikTok Karena Ancam Keamanan Nasional

By Adam Rizal, Kamis, 9 Juli 2020 | 15:00 WIB

TikTok

Perusahaan teknologi Cina lagi-lagi menjadi sorotan pemerintah Amerika Serikat (AS). Setelah ZTE dan Huawei, kali ini pemerintah AS mengincar TikTok.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan pemerintah AS sedang mempertimmbangkan untuk memblokir TikTok dan media sosial asal Cina lainnya.

Alasannya tidak beda dengan pemblokiran Huawei, yakni ancaman keamanan nasional. Pemerintah AS khawatir media sosial seperti TikTok membagikan data pengguna ke pemerintah Cina.

Dilaporkan Reuters, Pompeo mewanti-wanti penduduk AS yang menggunakan TikTok.

"Kecuali jika Anda ingin informasi pribadi berada di tangan Partai Komunis China," kata Pompeo.

Perwakilan TikTok tidak diam saja atas pernyataan Pompeo. TikTok mengklaim tuduhan pemerintah AS terkait keamanan data pengguna tidak benar.

"Kami tidak pernah memberikan data pengguna ke pemerintah China, sekalipun diminta memberikannya," jelas perwakilan TikTok.

Anak perusahaan ByteDance yang bermarkas di Cina ini menginformasikan bahwa CEO TikTok adalah berkebangsaan Amerika Serikat. Ratusan karyawan dan petinggi penting di divisi keamanan, perlindungan, produk, dan kebijakan publik, juga diisi oleh karyawan berkewarganegaraan AS.

"Kami tidak memiliki prioritas lain selain mempromosikan pengalaman yang aman bagi pengguna," jelas TikTok, dirangkum The Verge.

Sebelumnya, pemerintah India telah memblokir 59 aplikasi buatan Cina, termasuk TikTok dan WeChat dengan alasan yang sama. Pemerintah India mengklaim bahwa pemblokiran puluhan aplikasi itu bisa melindungi privasi dan keamanan data warganya.

Namun, TikTok menyampaikan pembelaannya.

"TikTok akan terus mematuhi peraturan perlindungan data pribadi dan keamanan di bawah hukum India, dan tidak membagikan informasi pengguna kami di India dengan pemerintah asing, termasuk pemerintah China," klaim TikTok.

Cina juga selama ini diketahui berupaya lepas dari stempel 'buatan Cina', seperti memindahkan kantor pusat ke luar Cina, dan mencari figur CEO berkebangsaan AS.