Tak hanya makin maju dan menguntungkan, usaha sosial-kreatif (creative and social enterprises/CSE) di Indonesia juga menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang inklusif bagi perempuan dan anak muda, dibandingkan sektor usaha lainnya.
Tak pelak, upaya-upaya untuk mendukung usaha sosial-kreatif melalui investasi modal dan pemberian insentif akan berkontribusi terhadap pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.
Temuan ini dikemukakan dalam penelitian ‘Lanskap Usaha Sosial-Kreatif di Indonesia’ yang diluncurkan secara daring oleh British Council, AVPN, dan Badan PBB untuk Bidang Ekonomi dan Sosial di Asia Pasifik (UN ESCAP).
Terdiri atas dua bagian, yakni ‘Usaha Sosial Kreatif di Indonesia/Creative and Social Enterprise in Indonesia’ dan ‘Berinvestasi pada Usaha Sosial Kreatif di Indonesia/Investing in Creative and Social Enterprise in Indonesia’, laporan ini merupakan bagian dari rangkaian studi yang dilakukan British Council bersama mitra-mitra di seluruh dunia untuk memotret lanskap global usaha sosial-kreatif.
Berdasarkan survei terhadap 1.388 usaha, penelitian bertajuk ‘Usaha Sosial Kreatif di Indonesia’ ini memaparkan beberapa fakta tentang usaha sosial kreatif (CSE) di Indonesia. Yang pertama, CSE adalah usaha yang menguntungkan. Hal ini terlihat dari data bahwa sebanyak 71% CSE telah menghasilkan profit.
CSE juga menciptakan lapangan kerja inklusif, yang terbuka bagi perempuan dan anak muda, lebih banyak dibandingan sektor usaha lainnya. Pada tahun 2019, jumlah rata-rata pekerja perempuan yang dipekerjakan oleh CSE adalah 3,8 di mana angka ini jauh lebih tinggi dari jumlah rata-rata pekerja perempuan di semua sektor usaha, yakni 0.6. Sementara, jumlah rata-rata anak muda berusia di bawah 35 tahun yang dipekerjakan di CSE adalah 3.9, sedangkan di sektor usaha lain hanya 0,7.
“Usaha sosial-kreatif dibentuk untuk tujuan yang tidak semata-mata menghasilkan pendapatan saja, tetapi lebih penting lagi untuk mengatasi kesenjangan dan kurangnya kesempatan ekonomi bagi anak muda, perempuan dan penyandang disabilitas. Dalam kerangka program Developing Inclusive and Creative Economies (DICE), penelitian ini kami luncurkan agar dapat berkontribusi dan menyebarkan gagasan untuk memperkuat sektor usaha sosial-kreatif serta bertukar pengetahuan dan pengalaman negara Inggris-Indonesia untuk kesejahteraan bersama,” ujar Hugh Moffatt, Country Director British Council Indonesia.
Meski usaha sosial-kreatif mengalami pertumbuhan pesat dalam lima tahun terakhir, laporan penelitian ‘Berinvestasi pada Usaha Sosial Kreatif di Indonesia’ mencatat bahwa sebagian besar CSE di Indonesia belum pernah memperoleh pendanaan eksternal. Sebanyak 45% usaha sosial-kreatif di Indonesia menggunakan sumber keuangan pribadi untuk mendanai usahanya dan kurang dari 1% pernah mengakses investasi ekuitas. Hambatan pembiayaan bagi CSE di Indonesia antara lain adalah akses terbatas ke investor dan kesulitan dalam memenuhi persyaratan agunan dan menyediakan penjamin.
“Faktanya, ada banyak sumber modal yang tersedia,” ujar Naina Subberwal Batra, CEO AVPN, salah satu jaringan investasi sosial terbesar di Asia. “Namun, untuk membuka saluran pendanaan ini, kita perlu membangun bahasa yang sama antara investor dan CSE untuk mengelola ekspektasi penyandang dana dan penerima dana dan juga untuk memetakan dengan lebih akurat sumber-sumber daya yang relevan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Kami berharap laporan ini akan memberikan perspektif yang berorientasi pada praktisi bagi beragam investor dan perantara untuk lebih memahami di mana terdapat peluang pertumbuhan tinggi dan bagaimana membangun kapasitas CSE menuju kesiapan investasi," lanjut Naina.
Untuk mengoptimalkan potensi CSE, dibutuhkan kerangka kebijakan yang memberikan insentif bagi usaha-usaha yang memiliki nilai sosial, misalnya melalui pengurangan pajak atau subsidi jaminan sosial, dan dukungan pemerintah untuk mendorong program yang menyalurkan investasi ke CSE yang berpotensi menghasilkan imbal balik keuangan, sosial dan lingkungan.
“Dua laporan tentang sisi penawaran dan permintaan dari usaha sosial-kreatif di Indonesia ini hadir di saat yang tepat mengingat Indonesia baru saja menjadi bagian dari negara berpenghasilan menengah ke atas. Laporan ini menyajikan ringkasan dari apa yang telah kami kembangkan dalam lima tahun terakhir. Banyak perubahan dalam program ekonomi dan sosial, misalnya menyalurkan subsidi kepada penduduk miskin dan rentan dan memberikan pelatihan keterampilan selama pandemi, dimaksudkan tidak hanya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengatasi kemiskinan struktural dalam jangka panjang, pengembangan sumber daya manusia, dan ketidaksetaraan,” ujar Vivi Yulaswati, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN).
Peluncuran laporan ini merupakan bagian dari komitmen British Council, AVPN dan UN ESCAP untuk mendorong pertumbuhan usaha sosial dan impact investment atau investasi yang berdampak positif bagi sosial dan lingkungan di seluruh kawasan Asia-Pasifik untuk mewujudkan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dihadiri oleh perwakilan pemerintah, investor, akademisi dan CSE, peluncuran tersebut memfasilitasi dialog publik-swasta untuk memperkuat ekosistem CSE di kawasan. Sebagai langkah ke depan, British Council, AVPN, dan United Nations ESCAP akan terus melakukan analisis, pelatihan, dialog, dan menawarkan panduan untuk mendukung pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang mendorong usaha sosial dan menciptakan lingkungan yang mendukung impact investment.