Perusahaan asal China yang terbilang sukses menembus pasar AS dan bisa bersaing dengan perusahaan Amerika lainnya, nantinya juga akan menghadapi ancaman "naturalisasi" AS.
Artikel tersebut menilai AS melakuan tindakan diskriminatif terhadap pesaing asing. Namun, ujung-ujungnya, model tersebut akan menjadi boomerang untuk perusahaan asal AS sendiri.
"Di era yang mana negara-negara sedang mengkhawatirkan keamanan data jaringan, perusahaan internet raksasa AS mendirikan cabang di seluruh dunia. Tapi adakah salah satu di antara perusahaan tersebut menyerahkan kendalinya kepada perusahaan di negara tuan rumah? Perusahaan mana yang anggota dewannya harus disetujui pemerintah negara setempat," tulis artikel itu.
Menurut laporan Reuters, tiga dari lima anggota dewan ByteDance yang berbasis di Beijing adalah warga negara asing yang menjalankan perusahaan berbasis di AS. Sementara dua lainnya adalah warga negara China.
Isu keamanan data memang menjadi senjata - jika tidak ingin disebut alasan - yang sering disampaikan Trump untuk mengancam perusahaan China seperti TikTok dan Huawei.
Namun menurut penulis, keamanan nasional hanyalah akal-akalan AS untuk melanggengkan hegemoninya di dunia teknologi global.
Media lain asal China yakni China Daily juga menulis artikel bernada sama, menyebut AS menjadikan "ancaman keamanan data" sebagai kedok belaka.
Artikel editorial berjudul "No Disguising Proposed TikTok Deal is a Dirty and Underhanded Trick: China Daily Editorial" itu menyebut bahwa AS mungkin saja "tidak nyaman" dengan kesuksesan TikTok yang kian populer bahkan di negara Barat.
TikTok, menurut laporan China Daily, diprediksi akan meraup pendapatan hingga satu miliar dollar AS di penghujung tahun 2020.
Artikel itu juga mengatakan bahwa pemerintah China tidak punya alasan untuk menyetujui kesepakatan "kotor" dan "tidak adil" yang diminta AS.