Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia mengancam akan menggelar aksi besar-besaran, apabila merger (penggabungan perusahaan) antara Grab dan Gojek terwujud.
Ketua Presidium Nasional Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengatakan bahwa pihaknya menolak rencana merger antara Gojek dan Grab.
"Kami sepakat untuk melakukan aksi serentak ataupun aksi secara bergelombang dari temen-teman ojol (ojek online) se-Indonesia," kata Igun dihubungi KompasTekno.
Igun menjelaskan, Garda Indonesia khawatir apabila setelah merger, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para mitra pengemudi ojek online, dengan dalih efisiensi perusahaan.
Selain itu, Igun berharap agar pemerintah, dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, untuk ikut turun tangan terkait isu merger dua perusahaan ride-hailing raksasa di Asia Tenggara ini. KPPU sebagai regulator, lanjut Igun, diharapkan bisa meninjau dan mencegah terjadinya merger antara Gojek dan Grab.
"Dengan adanya merger ini mohon pemerintah melihat apakah nanti akan terjadi sebuah monopoli di bidang ride-hailing," jelasnya.
Igun belum bisa memastikan kapan aksi akan digelar. Pihaknya masih menunggu respons dari pemerintah dan regulator.
"Bisa jadi di medio Januari-Februari (jika pemerintah belum intervensi). Kami menunggu Presiden untuk ikut menanggapi," ujar Igun.
Mendekati nyata kabar terbaru menyebut Grab dan Gojek mendekati kesepakatan untuk melakukan merger. Akan tetapi ada sejumlah hal yang masih dinegosiasikan. Dilaporkan Bloomberg, Masayoshi Son, CEO Softbank Group yang notabene investor besar Grab, ikut dalam pembicaraan merger tersebut.
Salah satu poin kesepakatan merger adalah nantinya, CEO Grab, Anthony Tan akan menjadi CEO entitas gabungan di wilayah Asia Tenggara. Sementara petinggi Gojek akan menjalankan gabungan entitas bisnis di wilayah Indonesia dan tetap di bawah nama Gojek.
Di sisi lain, KPPU masih belum bisa memberikan komentar apakah merger ini berpotensi menimbulkan pelanggaran persaingan usaha atau tidak. Sebab, proses penilaian baru bisa dilakukan setelah ada notifikasi, karena kewenangan KPPU dalam undang-undang masih menganut proses post-notification, bukan pre-notification.
"Walau dalam kewenangannya KPPU bisa menerima, bisa menolak. Namun hasil penilaiannya tentu sesuai prosedur yang berlaku," kata Komisioner KPPU, Guntur Saragih dalam sebuah konferensi video, Selasa (8/12/2020).