Perusahaan di bidang attribution dan analitik mobile marketing, AppsFlyer, menyebutkan bahwa selama tahun 2020 lebih dari separuh aplikasi yang diunduh (53%) pengguna perangkat mobile langsung di-uninstall dalam kurun waktu 30 hari pertama sejak pengunduhan.
Data tersebut terangkum dalam Laporan ‘The Uninstall Threat: 2020 app uninstall benchmarks’ yang menganalisis data 8 miliar peng-install-an aplikasi selama periode Januari - November 2020, dengan cakupan 3.000 aplikasi yang memiliki sedikitnya 2.000 peng-install-an non-organik dalam sebulan di wilayah Eropa, Amerika Latin, dan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Melihat hal tersebut, Ronen Mense, President dan Managing Director, AppsFlyer APAC, menyebutkan bahwa tahun 2020 tentunya menjadi tahun yang menantang bagi para marketer.
“Situasi pandemi yang membuat banyak orang harus beraktivitas di rumah dan lebih sering menggunakan perangkat mobile mereka membuat para marketer harus mencari cara untuk tetap mempertahankan pengguna mereka,” kata Mense.
Dijelaskan Mense, laporan Uninstall AppsFlyer ini setidaknya dapat memberikan pemahaman bagi para marketer untuk secara aktif mengukur dan mengoptimalkan berbagai metrik, selain itu juga meningkatkan kesadaran di antara mereka yang sebelumnya tidak menaruh perhatian terhadap hal ini.
“Sulitnya tingkat retensi pengguna di zaman sekarang ini membuat para marketer harus memanfaatkan informasi ini untuk lebih mendukung strategi pemasaran mereka,” lanjut Mense.
Baca Juga: McAfee: 80% Masyarakat Indonesia Khawatir Risiko Serangan Siber
Indonesia sendiri merupakan negara yang tergolong tinggi dalam tingkat uninstall dengan rerata 59% aplikasi di-uninstall dalam kurun waktu 30 hari setelah pengunduhannya pada Oktober 2020.
Kategori aplikasi non gim yang memiliki tingkat uninstall paling signifikan adalah aplikasi kategori Social (64,4%) dan Finance (59,6%) untuk install organik.
Sementara, uninstall kategori aplikasi gaming (game kasual) tercatat sebesar 53,6% untuk sumber install organic.
Angka relatif lebih rendah dibandingkan tingkat uninstall di beberapa negara seperti Brazil (68,1%), Turki (63,3%), Vietnam (63,1%) dan Thailand (60,4%).
Catatan menarik lainnya adalah tingkat uninstall di perangkat Android ternyata dua kali lebih besar dari perangkat iOS.
Kesenjangan terbesar di antara platform terlihat di Indonesia, dengan perbandingan tingkat uninstall sebesar 64% untuk perangkat Android sementara perangkat iOS hanya 25%.
Hal ini disebabkan oleh kapasitas rerata ruang penyimpanan yang lebih kecil dari perangkat Android, yang banyak dimiliki oleh sebagian besar masyarakat yang hanya membutuhkan fitur mendasar dari perangkat mobile mereka.
Namun demikian, tingginya tingkat uninstall pada aplikasi tetap saja merupakan hal yang ingin dihindari oleh para marketer.
Laporan Uninstalls AppsFlyer menyebutkan rerata anggaran marketing yang terbuang akibat tingkat uninstall secara global bernilai US$57 ribu (sekitar Rp800 juta) perbulan per aplikasi pada 2020 atau meningkat 70% dari tahun 2019.
Dengan banyak orang menghabiskan waktu di rumah akibat pandemi, tentunya membuat banyak orang beralih ke perangkat mobile mereka sehingga para marketer harus menjalankan kampanye lebih agresif.
“Ketika persaingan meningkat, anggaran marketing harus dipastikan tidak terbuang sia-sia. Marketer aplikasi harus mengukur tingkat uninstall mereka dan memahami kapan, kenapa dan dari sumber mana uninstaller berasal,” jelas Mense.
“Oleh karena itu, marketer bisa mencegah uninstall dengan menggunakan semua kanal, mendorong retargeting untuk menjaga aplikasi mereka menjadi perhatian utama para penggunanya. Retargeting adalah pendekatan kunci untuk meningkatkan profitabilitas dan nilai umur sebuah aplikasi,” tambah Mense.
Baca Juga: Hati-hati! Beli Smartphone Xiaomi dari China, Tak Bisa Instal GMS
InfoKomputer secara rutin menyelenggarakan kelas online secara gratis untuk membantu meningkatkan kemampuan IT professional di Indonesia. Jika Anda tertarik, silakan daftar di sini.