Berkat transformasi digital yang telah dimulai sejak beberapa tahun terakhir, perusahaan dan organisasi menjadi lebih kebal terhadap krisis.
Hal itu terungkap dalam hasil survei tahunan iCIO Community, komunitas CIO dan eksekutif dibidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari perusahaan dan organisasi di Indonesia.
Meski dampak negatif dari wabah COVID-19 dirasakan langsung oleh 76% Chief Information Officer (CIO), terutama dari menurunnya daya beli pelanggan, tapi sebanyak 68% CIO optimis kinerja perusahaan dapat dipertahankan.
Survei bertajuk "Indonesia CIO Pandemic Business Impact Survey: Rethinking The Ways of Everything", yang diselenggarakan bulan Desember 2020-Januari 2021 itu juga mengungkapkan pandemi COVID-19 memberikan pelajaran berharga bagi perusahaan untuk mempersiapkan diri menghadapi disrupsi yang akan terjadi di masa depan, baik yang dipicu oleh ketidakpastian kondisi ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan.
Sebanyak 27,1% CIO mendorong perusahaan untuk melakukan investasi, baik yang ditujukan untuk memperkuat bisnis saat ini maupun di bidang lainnya namun memiliki prospek di masa depan. Sementara 26,2% lainnya mendorong penerapan kerja remote secara permanen untuk sejumlah fungsi bisnis; 23,4% mendorong implementasi teknologi automation, Artificial Intelligence, analitik dan lainnya untuk meningkatkan kinerja; dan 22,4% mendorong perusahaan untuk mengurangi penggunaan kantor/outlet fisik dengan semakin mengoptimalkan kanal-kanal digital.
“Disrupsi telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari dunia bisnis saat ini. Perusahaan harus mempersiapkan diri agar tetap bisa relevan dan adaptif dengan ketidakpastian di masa depan. CIO dituntut untuk berperan lebih dalam upaya perusahaan tidak saja dalam melakukan digitalisasi proses bisnis melainkan juga mengoptimalkan model bisnis melalui penerapan TIK," ujar Abidin Riyadi Abie, Koordinator Divisi Riset, iCIO Community.
Mendorong Produktivitas dan Kolaborasi
Selama pandemi COVID-19 setahun terakhir, fokus para CIO adalah bagaimana menjaga kontinuitas bisnis yang terganggu sebagai konsekuensi pembatasan aktivitas masyarakat-termasuk karyawan-untuk menekan penyebaran virus secara lebih luas.
Penerapan TIK menjadi satu-satunya cara bagi perusahaan untuk memfasilitasi karyawan bekerja dari rumah dan memudahkan kolaborasi diantara mereka secara virtual. Namun perubahan cara kerja yang terjadi secara 'tiba-tiba' itu tidak serta-merta bisa diikuti.
Tingkat kesiapan beradaptasi dengan cara kerja yang baru tidak dipengaruhi oleh latar belakang industri, melainkan oleh sejauh apa transformasi digital telah dilakukan oleh perusahaan-peusahaan tersebut.
Sekitar 42% CIO kolaborasi menjadi lebih sulit dilakukan karena terbiasa melalui interaksi secara fisik. Ini diungkapkan oleh CIO dari industri layanan jasa keuangan, manufaktur hingga farmasi.
Sebanyak 30% CIO yang di antaranya berasal dari industri telekomunikasi, otomotif dan manufaktur mengaku bahwa kolaborasi di perusahaannya menjadi lebih baik berkat teknologi, dan 28% mengaku kolaborasi tetap bisa dipertahankan, offline maupun online tidak menjadi kendala berarti.