Kasus Traveloka Paylater menunjukkan lemahnya perlindungan data konsumen yang dilakukan penyedia layanan. Penyedia layanan yang salah, namun konsumen yang harus menanggung semua dampaknya.
Seperti kami beritakan di sini, kasus berawal dari kegagalan pemilik akun Twitter @ridu saat mengajukan kartu kredit ke sebuah bank. Setelah diusut, penyebabnya adalah nama Ridu masuk kategori Kolektibilitas 5 di SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) Bank Indonesia. Ia masuk kategori itu karena dianggap menunggak pembayaran lebih dari 180 hari.
BACA JUGA: Begini cara cek SLIK secara online
Tunggakan transaksi itu sendiri dilaporkan oleh PT Caturnusa Sejahtera Finance, rekanan Traveloka dalam menyediakan layanan Traveloka Paylater. Masalahnya, Ridu mengaku tidak pernah menggunakan layanan Traveloka Paylater ini.
Kasus ini sendiri langsung diselesaikan oleh Traveloka dengan menghapus tagihan atas nama Ridu. “Kami juga telah menghubungi pengguna untuk menawarkan solusi kami dan dapat diterima dengan baik oleh beliau,” ujar Reza Amirul Juniarshah, Head of Corporate Communications Traveloka.
Perlunya Tindakan Tegas
Meski sudah selesai, kasus ini menggambarkan lemahnya posisi konsumen. Meski tidak berbuat salah, mereka menjadi korban karena masuk “daftar hitam” pengajuan kredit lembaga finansial. Akibatnya mereka ditolak saat mengajukan pinjaman ke lembaga finansial resmi, apakah saat mengajukan kartu kredit atau cicilan pembelian rumah.
Apalagi, Ridu bukanlah korban pertama. Penelusuran InfoKomputer menunjukkan, sudah ada beberapa laporan seputar Traveloka Paylater.
Ketika ditanya komentarnya atas kasus ini, pengamat security Alfons Tanujaya melancarkan kritik tajam. “Kalau peminjam memang tidak melakukan pinjaman tetapi dimasukkan SLIK meminjam, ini adalah perkara serius dan menjurus kriminal,” ujar Alfons.
Kritik keras Alfons didasari fakta, konsumen menjadi korban atas kesalahan pihak lain. “Konsumen tidak bisa berbuat banyak atas penyalahgunaan data ini. Kelemahan terbesar di sistem SLIK dan kebocoran di lembaga peminjam” ungkap Alfons. “Sudah menjadi korban, ia harus bolak-balik mengemis ke lembaga yg jelas berbuat salah. Ini namanya keadilan sudah terbalik,” ungkap Alfons.
Agar kasus ini tidak terulang, Alfons melihat ada dua area yang harus diperbaiki. “Pertama jelas adalah Traveloka, karena mereka menyalahgunakan data,” ungkap Alfons. Area lainnya adalah otoritas yang mengurus SLIK untuk memperbaiki SOP-nya.
“OJK atau lembaga apapun yg mengelola SLIK harus mengutamakan kenyamanan pemilik data alias konsumen; bukan lembaga kredit,” ujar Alfons. “Karena data tersebut adalah data [milik] konsumen, sementara lembaga kredit/bank adalah pengguna data,“ tambah Alfons. Tindakan tegas, seperti mengenakan denda besar, bisa digunakan untuk menimbulkan efek jera.
“Kalau OJK atau lembaga terkait tidak mampu mengelola SLIK dengan baik dan menyebabkan konsumen menjadi korbannya, sebaiknya serahkan ke lembaga lain yg lebih profesional,” tambah Alfons.
Meski tidak dalam posisi salah, Alfons tetap menyarankan konsumen untuk melindungi data dirinya sebaik mungkin. “Konsumen bisa mencoba sebaik mungkin menjaga datanya, tidak sembarangan mengajukan kredit atau kartu kredit pada lembaga yang tidak dikenal karena takutnya itu adalah usaha mengumpulkan data,” tambah Alfons.