Dell Technologies mengumumkan hasil riset global yang telah mereka sponsori dan dilaksanakan oleh Forrester Consulting. Riset ini menemukan bahwa sebagian besar perusahaan di Indonesia kewalahan menangani perkembangan data yang sangat cepat.
Alih-alih menjadi nilai tambah kompetitif bagi perusahaan, data malah menjadi beban karena sejumlah faktor penghambat, antara lain: kesenjangan keahlian (skill gap) untuk mengelola data, silo data, proses manual, silo bisnis, dan kurangnya keamanan data pribadi.
Riset “Data Paradoks” ini dipicu oleh besarnya volume, kecepatan, dan ragam data yang membanjiri perusahaan, teknologi, sumber daya manusia, dan proses.
Riset ini mewawancarai lebih dari 4.000 pembuat keputusan dari 45 negara dan disusun berdasarkan hasil riset berjudul Digital Transformation Index, yang mengukur tingkat kesiapan digital perusahaan-perusahaan di seluruh dunia.
Dalam riset Digital Transformation Index terbaru, Dell Technologies menemukan faktor kontradiksi tentang “kelebihan data/ketidakmampuan mengolah data menjadi wawasan”, adalah menjadi penghambat transformasi ketiga terbesar di dunia (APJ: peringkat 3), naik dari peringkat sebelas di riset versi 2016 (APJ: peringkat 12).
Riset tersebut juga mengungkap, dua pertiga responden Indonesia (69%) menyatakan bahwa perusahaan mereka mengutamakan data (data-driven) dan bahwa “data adalah sumber kehidupan bagi perusahaan mereka.” Namun, hanya 22 persen yang telah memanfaatkan data sebagai modal dan memprioritaskan penggunaannya di seluruh lini bisnis
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan persepsi (paradoks) tersebut, riset ini mengelompokkan pengukuran kesiapan data perusahaan menjadi 4 kategori, yaitu Pemula (Data Novice), Teknisi (Data Technician), Antusias (Data Enthusiast), Juara (Data Champion)
Menurut hasil riset tersebut, kelompok tingkat kesiapan data perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa 88 persen perusahaan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan, baik dari sisi teknologi dan pemrosesan data dan/atau budaya dan kemampuan mereka mengelola data.
Hanya 12 persen perusahaan di Indonesia yang masuk dalam kategori Data Champion, yaitu perusahaan-perusahaan yang secara aktif terlibat di teknologi/pemrosesan data dan memiliki budaya/kemampuan mengelola data. Bahkan, riset ini menunjukkan bahwa 62 persen perusahaan di Indonesia masih jauh dari tujuan transformasi digital mereka.
Riset ini juga menemukan sebanyak 72 persen perusahaan di Indonesia mengumpulkan data lebih cepat daripada kemampuan mereka untuk menganalisis dan menggunakannya, tapi 67 persen menyatakan mereka tetap membutuhkan lebih banyak data daripada kemampuan yang mereka miliki saat ini.
“Ketika perusahaan di bawah tekanan besar untuk melakukan Transformasi Digital untuk mempercepat layanan pada pelanggan, mereka harus mendapatkan lebih banyak data dan harus bisa mengelola data yang mereka miliki dengan lebih baik. Terlebih saat ini, dimana 38% perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa pandemi secara signifikan telah meningkatkan jumlah data yang perlu mereka kumpulkan, simpan, dan analisis,” ujar Richard Jeremiah (General Manager, Dell Technologies, Indonesia) melalui diskusi virtual pada Agustus lalu.
Meskipun banyak perusahaan mengalami kesulitan saat ini, banyak perusahaan di Indonesia yang ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Sebanyak 54 persen berencana untuk menerapkan pembelajaran mesin (machine learning) untuk mengotomatisasi cara mendeteksi data anomali, 58 persen akan beralih ke model data-as-a-service dan 55 persen berencana untuk melakukan evaluasi menyeluruh kinerja stack agar bisa merancang ulang cara mereka memproses dan menggunakan data dalam 1-3 tahun ke depan.