Seperti penuturan Pang, saat ini Lamin Mancong tak lagi digunakan sebagai rumah tinggal. Rumah Panjang ini lebih banyak digunakan untuk berbagai ritual adat, seperti musyawarah, pengobatan, upacara kematian, dan pernikahan adat. Lamin Mancong juga terbuka untuk wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Sebelum pandemi, di sini ramai,” cerita Pang. Wisatawan mancanegara dari Belanda, Jepang, atau Spanyol banyak mengunjungi tempat ini. Namun dua tahun belakangan, suasana berubah drastis. “Orang lokal saja jarang yang datang,” tambah Pang.
Yohana Pang, pemilik Lamin Mancong yang berharap tempat tinggalnya ramai kembali seperti dulu
Pang berharap tempat kelahirannya itu bisa kembali ramai dikunjungi wisatawan begitu pandemi berakhir. Kekayaan budaya dan cerita sejarah, serta suasana teduh yang nyaman di Lamin Mancong ini merupakan daya tarik unik yang sayang untuk dilewatkan para wisatawan yang datang ke Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Penuturan serupa soal sepinya pengunjung Lamin Mancong juga dituturkan oleh Aliya, pelajar SMA asal Samarinda yang sedang berkunjung ke obyek wisata budaya tersebut. Katanya, ia rindu suasana meriah Lamin Mancong sebelum pandemi, yang ramai dengan beragam acara seperti potong kerbau, belian, penyambutan turis, dan pemotongan babi secara ramai-ramai.
“Aku memilih datang ke sana buat rekreasi karena salah satunya ya melepas rindu,” ujar gadis yang dulunya juga lahir di Lamin Mancong tersebut. “Rasanya seperti nostalgia mengingat-ingat acara seperti penyambutan wisatawan, dengan tari-tarian khas Dayak. Aku rindu aja sih akan suasananya,” ungkap Aliya.
Semoga saja, Gerakan Menuju 100 Smart City akan melahirkan inovasi yang mengembalikan kemeriahan Lamin Mancong yang dirindukan Pang dan warga sekitar. (Penulis: Mardyana Ulva)