Find Us On Social Media :

Peran Smart City dalam Mendorong Potensi Lamin Mancong di Kutai Barat

By Wisnu Nugroho, Selasa, 14 September 2021 | 14:08 WIB

Lamin Mancong, rumah adat yang menjadi bukti kekayaan budaya Kutai Barat

Suasana di sekitar Lamin Mancong tampak begitu asri. Pepohonan rindang memagari area sekeliling rumah besar tersebut, dengan jalan setapak mengarah ke arah sungai Ohong yang teduh. 

Lamin atau rumah panjang ini merupakan rumah tradisional suku Dayak, penduduk asli Pulau Kalimantan. Area tempat berdirinya Lamin Mancong ini adalah tempat bermukim komunitas adat Dayak Benuaq. Lamin Mancong adalah salah satu bukti kekayaan budaya yang dimiliki masyarakat Kutai Barat. Jika dapat diolah dengan baik, Lamin Mancong akan menjadi destinasi wisata yang dikunjungi banyak wisatawan.

Potensi inilah yang menjadi modal Pemerintah Kabupaten Kutai Barat dalam mengikuti Gerakan Menuju 100 Smart City untuk Destinasi Wisata Prioritas dan Ibukota Negara. Melalui gerakan ini, pemerintah Kutai Barat akan mendapat bimbingan untuk berinovasi dan memanfaatkan teknologi demi kemajuan daerahnya. 

Harapannya, Gerakan Menuju Smart City dapat mempersiapkan warga dan jajaran birokrasi untuk menjadi tuan rumah bagi wisatawan dan ibukota negara baru. Pada akhirnya, inovasi yang lahir diharapkan dapat membawa dampak positif bagi kehidupan ekonomi dan sosial warga setempat.

Dibangun Bertahap

Lamin Mancong sendiri berada di Desa Mancong, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Seperti namanya, lamin atau rumah Panjang ini dibangun memanjang dari bangunan utamanya. Pada mulanya, bangunan utama lamin hanya dibuat untuk mengakomodasi keluarga utama. Baru setelah itu, keturunannya ‘menyambung’ bangunan rumah hingga bentuknya memanjang seperti sekarang. 

Pemilik rumah Lamin Mancong ini adalah Yohana Pang. Sama seperti kedua orang tua serta kelima kakak-kakaknya, Pang lahir di Lamin Mancong itu. 

“Lamin ini sudah ada dari jaman nenek moyangku dulu. Tahun 1915 mulai ngumpul-ngumpul alatnya, tapi baru tahun 1920 bisa ditempati,” tutur perempuan yang disapa Pang itu. “Awalnya itu cuma empat kamar yang diselesaikan dulu, baru ada minat sambung-sambung,” jelas Pang lagi.

Namun saat ini, Pang hidup sendirian. Keluarganya sudah tiada, termasuk sang suami. “Saya dan suami juga membangun lamin itu. Tapi kemudian suami saya meninggal, dan saya beli kios ini dari orang. Saya tinggal di sini saja sekarang, karena kalau tinggal di lamin sepi, saya sendirian kalau di sana,” ujar Pang. 

Kini, ia tinggal di kios yang menjual souvenir serta makanan ringan, yang berada persis di depan lamin legendaris tersebut.

Sepi Akibat Pandemi

Lamin atau rumah panjang biasanya terbuat dari kayu ulin, yang juga disebut sebagai kayu besi. Kayu ulin ini tahan serangan rayap dan serangga penggerek batang, juga tahan kelembaban dan air laut. Tak heran jika bangunan Lamin Mancong ini masih berdiri kokoh sampai sekarang meski sudah berusia senja.

Seperti penuturan Pang, saat ini Lamin Mancong tak lagi digunakan sebagai rumah tinggal. Rumah Panjang ini lebih banyak digunakan untuk berbagai ritual adat, seperti musyawarah, pengobatan, upacara kematian, dan pernikahan adat. Lamin Mancong juga terbuka untuk wisatawan lokal maupun mancanegara.

“Sebelum pandemi, di sini ramai,” cerita Pang. Wisatawan mancanegara dari Belanda, Jepang, atau Spanyol banyak mengunjungi tempat ini. Namun dua tahun belakangan, suasana berubah drastis. “Orang lokal saja jarang yang datang,” tambah Pang. 

Yohana Pang, pemilik Lamin Mancong yang berharap tempat tinggalnya ramai kembali seperti dulu

Pang berharap tempat kelahirannya itu bisa kembali ramai dikunjungi wisatawan begitu pandemi berakhir. Kekayaan budaya dan cerita sejarah, serta suasana teduh yang nyaman di Lamin Mancong ini merupakan daya tarik unik yang sayang untuk dilewatkan para wisatawan yang datang ke Kutai Barat, Kalimantan Timur.

​​Penuturan serupa soal sepinya pengunjung Lamin Mancong juga dituturkan oleh Aliya, pelajar SMA asal Samarinda yang sedang berkunjung ke obyek wisata budaya tersebut. Katanya, ia rindu suasana meriah Lamin Mancong sebelum pandemi, yang ramai dengan beragam acara seperti potong kerbau, belian, penyambutan turis, dan pemotongan babi secara ramai-ramai.

“Aku memilih datang ke sana buat rekreasi karena salah satunya ya melepas rindu,” ujar gadis yang dulunya juga lahir di Lamin Mancong tersebut. “Rasanya seperti nostalgia mengingat-ingat acara seperti penyambutan wisatawan, dengan tari-tarian khas Dayak. Aku rindu aja sih akan suasananya,” ungkap Aliya.

Semoga saja, Gerakan Menuju 100 Smart City akan melahirkan inovasi yang mengembalikan kemeriahan Lamin Mancong yang dirindukan Pang dan warga sekitar. (Penulis: Mardyana Ulva)