Suatu hari, seorang pria mendatangi kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pria ini bermaksud melakukan tax amnesty atas sejumlah aset miliknya yang belum dilaporkan di SPT. Belakangan diketahui, kerelaan pria ini melakukan tax amnesty muncul setelah ia menerima email dari DJP. Email tersebut berisi hasil penyelidikan DJP yang secara akurat menemukan sejumlah aset miliknya yang memang sengaja ia sembunyikan.
Cerita nyata di atas sedikit banyak menggambarkan karakteristik pembayar pajak. “Semua orang tidak suka membayar pajak. Saya orang pajak sebenarnya juga tidak suka” ungkap Iwan Djuniardi (Direktur Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP) dengan nada bergurau.
Namun pajak memang bukan soal suka atau tidak suka, melainkan kewajiban yang harus dibayarkan sesuai ketentuan. Masalahnya, sebagian wajib pajak yang “nakal” memilih untuk tidak melaporkan obyek miliknya. Atau kalaupun melaporkan, nilainya jauh di bawah nilai sesungguhnya. Mereka baru akan membayar sesuai aturan ketika dikonfrontasi dengan data yang valid. “Mereka mungkin menggerutu, namun akhirnya bayar pajak” tambah Iwan saat berbagi di acara InfoKomputer CIO Forum awal November kemarin.
Karena itulah, penting bagi DJP untuk memiliki data yang valid agar bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Peran Big Data
Lalu, bagaimana DJP mendapatkan data yang valid tersebut? Di sinilah peran big data menjadi relevan. Dengan menggabungkan data dari berbagai sumber dan melakukan analisa, DJP bisa mendeteksi berbagai jenis fraud dengan cepat.
Untuk data sendiri, DJP mengumpulkan dari berbagai sumber. Selain data internal, mereka juga mengumpulkannya dari pihak ketiga (yang disebut data ILAP atau Institusi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak lain). Setidaknya ada 87 jenis data yang berasal dari 67 instansi seperti Bank Indonesia, Ditjen Bea Cukai, sampai PT. Pelabuhan Indonesia. Selain itu, DJP juga mengumpulkan data dari media sosial dan Orbis (data kepemilikan perusahaan).
Iwan Djuniardi (Direktur Transformasi Teknologi informasi dan Komunikasi DJP)
Semua data itu diolah di dalam sistem yang disebut Dawet (Data Warehouse Terintegrasi). Sedangkan untuk proses analisa bagi tim internal, DJP menyediakan sistem yang disebut Coro-binal. Dua sistem inilah yang kemudian dijadikan “senjata” bagi DJP dalam mendeteksi fraud maupun meningkatkan pelayanan.Sejak digulirkan sejak April 2015, sudah banyak manfaat yang didapat DJP. Salah satu contohnya adalah mendeteksi modus invoice pajak palsu, yang seringkali melibatkan jaringan broker yang rumit. Dari satu modus ini saja, terciduk 30 ribu kasus dengan total kerugian mencapai Rp.2,9 trilyun. “Dan hanya butuh waktu satu minggu untuk mendeteksi modus seperti ini” tambah Iwan. Sebelum menggunakan teknologi big data, dibutuhkan waktu sampai dua tahun hanya untuk menguak 100-200 kasus.
Big data juga bermanfaat untuk memetakan wajib pajak berikut entitas terkait, seperti kepemilikan aset, kepemilikan perusahaan, sampai anggota keluarga. Dengan mencocokkan dengan data SPT, DJP bisa menilai apakah wajib pajak tersebut telah patuh membayar pajak sesuai ketentuan. Jadi ketika sebuah mobil didaftarkan atas nama anak, misalnya, DJP tetap bisa mengecek apakah mobil tersebut sudah didaftarkan di SPT sang ayah.
Pemanfaatan big data pun tidak cuma soal enforcement, namun juga peningkatan layanan. Salah satu contohnya adalah pre-filled tax proposal information, ketika wajib pajak cukup memverifikasi data yang dikeluarkan Dirjen Pajak. Hal ini menjadi mungkin karena Dirjen Pajak bisa mengakses data transaksi yang terjadi di sebuah institusi. Metode ini pun sudah diimplementasikan di Bank BRI di mana karyawannya cukup melakukan verifikasi melalui mobile apps.