Find Us On Social Media :

Forum B20 Indonesia Bahas Masa Depan Pendidikan dan Pekerjaan di Era Digital

By Wisnu Nugroho, Sabtu, 28 Mei 2022 | 11:34 WIB

“Saat ini problemnya, ada pada ketimpangan infrastruktur digital antara negara maju dan berkembang” Hamdhani D. Salim (Ketua Ketua B20 Future of Work and Education Task Force)

KADIN Indonesia sebagai penyelenggara Presidensi B20 Indonesia menggelar forum diskusi virtual terkait masa depan pendidikan dan pekerjaan di era digitalisasi, Jumat (27/05). Diskusi virtual ini didasari isu yang menjadi perhatian B20 melalui Future of Work and Education Task Force, yaitu mendorong percepatan transformasi digital di berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan.

Acara ini sendiri dihadiri HRH GKR. Mangkubumi (Putri Mahkota Keraton Yogyakarta), WKU KADIN Indonesia Bidang HI Bernardino Vega Jr, Ketua APTISI Budi Jatmiko dan Ketua B20 Future of Work and Education Task Force sekaligus President Director PT Astra Otoparts Tbk dan Direktur PT. Astra International Tbk Hamdhani D. Salim.

Hadir juga sebagai panelis, Andreas Beyer (Educatius Group), Matthew Neeb (Director of Online Programs Educatius Group), Hendri Saparini (Senior Economist Core Indonesia), dan Jo Anne Chuck (Guru Besar WSU Australia).

Atasi Ketimpangan Akses Digital

Pandemi yang terjadi dalam dua tahun terakhir tak pelak membawa perubahan pada dunia pendidikan. Ratusan juta pelajar di seluruh dunia terpaksa beradaptasi dengan menjalani pendidikan lewat platform digital. Namun pengalaman ini juga membuka mata akan potensi pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi digital.

Ketua B20 Future of Work and Education Task Force, Hamdhani D. Salim sepakat, teknologi digital harus menjadi salah satu fokus dalam menjawab tantangan pendidikan. Apalagi, dunia saat ini memasuki era ekonomi digital. Pendidikan berbasis digital harus menjadi fondasi menciptakan tenaga kerja yang siap menghadapi era pekerjaan di masa akan datang.

Namun Hamdhani juga menyorot pentingnya pemerataan akses teknologi digital yang bersifat inklusif. “Saat ini problemnya, ada pada ketimpangan infrastruktur digital antara negara maju dan berkembang, termasuk soal pembiayaan, kesiapan perusahaan, literasi digitalnya termasuk soal akses pengetahuan atau pendidikan,” kata Hamdhani.

Karena itu, gugus B20 Future of Work and Education Task Force berkomitmen untuk memberikan rekomendasi dalam mengatasi masalah ketimpangan akses teknologi digital ini. Rekomendasi tersebut meliputi akselerasi pembangunan infrastruktur, penyediaan sarana prasarana belajar berbasis digital, hingga akselerasi isu literasi di sektor pendidikan.

“Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melalui penciptaan pekerjaan dan pendidikan berkelanjutan dengan membangun sistem terintegrasi yang mampu menciptakan wirausahawan, meningkatkan kapasitas UMKM dan meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Terutama bidang vokasi dan pelatihan berbasis keahlian seperti pembelajaran digital untuk era pasca pandemi,” jelas Hamdhani.

Sementara Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang HI, Bernardino Vega Jr. menyorot potensi teknologi digital untuk Indonesia. Dengan potensi bonus demografi, Indonesia harus mampu mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam memanfaatkan teknologi di dunia pendidikan. Dengan begitu, kita bisa merancang strategi yang tepat dalam memenuhi kebutuhan bisnis dan industri di masa depan.

"Saat ini terjadi perubahan paradigma bisnis yang mengarah pada digital economy dan green economy" Hendri Saparini (Senior Economist Core Indonesia)

Hendri Saparini (Senior Economist Core Indonesia) sepakat, institusi pendidikan harus mengantisipasi perubahan paradigma bisnis di masa depan yang berpusat pada digital economy dan green economy. “Perubahan paradigma ini membuka peluang bisnis baru, jenis pekerjaan baru, serta mengharuskan kita mengedepankan efisiensi, kolaborasi, dan pembangunan ekosistem,” ungkap Hendri.

Transformasi digital ini harus dilakukan setiap negara, meski jalurnya tidak harus sama. Hendri mencontohkan kesuksesan QRIS, metode pembayaran cashless berbasis QR Code di Indonesia. Padahal di negara maju seperti AS dan Eropa, metode seperti ini belum banyak diadopsi. “Jadi setiap negara membutuhkan jalur transisi yang unik dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing,” tanpa Hendri.