Dalam sebuah laporan, para peneliti di MIT Jameel Clinic memperkenalkan contoh artificial intelligence untuk mendeteksi penyakit Parkinson dengan membaca pola napas seseorang.
Laporan yang berjudul “Artificial intelligence-enabled detection and assessment of Parkinson’s disease using nocturnal breathing signals” ini juga menyebutkan bahwa contoh artificial intelligence yang dikembangkan ini juga mampu membedakan tingkat keparahan penyakit dan melacak perkembangannya dari waktu ke waktu.
Contoh artificial intelligence ini dikembangkan untuk menjawab tantangan dalam mendiagnosis penyakit Parkinson. Penyakit akibat gangguan saraf pusat ini terbilang sulit diindentifikasi, apalagi secara dini. Pasalnya diagnosis Parkinson utamanya bergantung pada kemunculan gejala-gejala motorik, seperti tremor, kekakuan, dan kelambatan. Padahal, gejala-gejala ini seringkali muncul beberapa tahun setelah timbulnya penyakit.
Baca juga: Apa Itu Teknologi Artificial Intelligence
Profesor Dina Katabi dari Thuan (1990) and Nicole Pham, Department of Electrical Engineering and Computer Science (EECS), MIT bersama timnya mengembangkan sebuah model artificial intelligence berupa neural network.
Jaringan neural ini memiliki kemampuan menilai apakah seseorang mengidap Parkinson berdasarkan pola nocturnal breathing-nya, atau pola pernafasan yang terjadi saat manusia tidur di malam hari. Jaringan ini juga dapat membedakan tingkat keparahan penyakit dan melacak perkembangannya dari waktu ke waktu.
Model artificial intelligence ini dirancang untuk bekerja tanpa harus mengganggu pasien dan perawat. Untuk itu, tim dari MIT ini mengembangkan sebuah perangkat yang penampilannya mirip router Wi-Fi rumahan. Perangkat ini akan memancarkan sinyal radio, menganalisis pantulannya dari lingkungan sekitar, dan mengekstraksi pola pernapasan subjek tanpa harus melakukan kontak fisik apa pun dengan pasien. Sinyal-sinyal pernafasan yang ditangkap oleh perangkat ini kemudian diumpankan ke jaringan neural untuk melakukan penilaian atau assessment terhadap kondisi pasien.
Baca juga: Contoh Artificial Intelligence di Bidang Seni Ini Tuai Kontroversi
Mengapa pernapasan? Menurut Prof.Katabi, hubungan antara Parkinson dan pernapasan sudah diketahui pada tahun 1817 melalui penelitian yang dilakukan oleh Dr. James Parkinson. “Inilah yang memotivasi kami untuk mempertimbangkan potensi mendeteksi penyakit melalui pernapasan seseorang tanpa melihat gerakan,” ujar Prof. Katabi seperti dikutip dari laman web Neuroscience News.
Ia menambahkan, beberapa penelitian medis juga menunjukkan bahwa gejala pernapasan bermanifestasi bertahun-tahun sebelum munculnya gejala motorik. “Artinya, atribut pernapasan ini menjanjikan untuk menilai risiko sebelum diagnosis Parkinson,” imbuh Prof. Katabi.
Selama bertahun-tahun, para ahli telah meneliti potensi cairan serebrospinal dan neuroimaging untuk mendeteksi penyakit Parkinson. Namun metode tersebut dinilai invasif, mahal, dan membutuhkan akses ke pusat medis khusus. Walhasil, metode ini tidak cocok untuk pengujian yang harus sering dilakukan agar dapat memberikan diagnosis dini atau melacak terus menerus perkembangan penyakit pada pasien.
Baca juga: Contoh Artificial Intelligence untuk Prediksi Risiko Ibu Melahirkan
Profesor Dina Katabi memaparkan bahwa studi dengan model artificial intelligence ini akan berdampak positif terhadap pengembangan obat dan perawatan klinis pasien pengidap Parkinson.
Dari aspek pengembangan obat, hasil studi dengan contoh artificial intelligence ini memungkinkan durasi uji klinis yang jauh lebih pendek dan peserta uji yang lebih sedikit. Dan pada gilirannya akan mempercepat pengembangan terapi baru.
Sementara di sisi perawatan klinis, pendekatan ini dapat membantu penilaian pasien Parkinson di komunitas tradisional yang kurang terlayani, termasuk mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan mereka yang kesulitan meninggalkan rumah karena keterbatasan mobilitas atau gangguan kognitif.
Parkinson termasuk jenis penyakit saraf dengan perkembangan tercepat di dunia. Penyakit ini adalah gangguan neurologis kedua paling umum, setelah Alzheimer.
Menurut catatan Kementerian Kesehatan RI, jumlah penderita Parkinson di Asia diprediksi meningkat dari 2,7 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 6,17 juta jiwa pada tahun 2030. Jika pravelensi dari penderita Parkinson dihitung dengan jumlah penduduk di Indonesia maka pada tahun 2019 penderita Parkinson mencapai 986 ribu jiwa dari jumlah penduduk jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 260 juta jiwa.
Ray Dorsey, seorang profesor neurologi di University of Rochester dan spesialis penyakit Parkinson menuturkan bahwa perangkat yang dikembangkan Katabi ini akan sangat membantu. Perangkat ini memungkinkan para peneliti dan dokter memperoleh penilaian yang obyektif dan nyata tentang kondisi dan aktivitas pasien Parkinson sehari-hari.
“Informasi yang kami miliki tentang manifestasi dari penyakit ini di lingkungan alaminya sangatlah terbatas,” ujar Dorsey seperti dikutip dari Neurosciencenews.com. Ia menganalogikan cara penilaian penyakit Parkinson yang ada sekarang seperti lampu jalanan di malam hari.
“Yang bisa kami lihat hanyalah bagian (jalan) yang sangat kecil…sementara sensor yang sepenuhnya tanpa kontak [dari perangkat yang dikembangkan Dina Katabi] membantu kami menerangi dalam kegelapan,” pungkas Ray Dorsey yang juga co-author dari laporan studi MIT ini.