Dan yang menarik, dengan adanya winning war room ini, ada data yang dapat dievaluasi dan dipelajari ketika perusahaan tidak berhasil memenangkan tender. “Setelah adanya winning war room ini, pengalaman kami, winning rate Waskita Karya naik, dari maksimal 20%, sekarang hampir menyentuh angka 30%. Jadi dari sepuluh tender yang kami ikuti, kami bisa menang tiga. Sementara dulu hanya satu atau dua tender saja,” ungkap Mursyid.
Di proses engineering, Waskita Karya memanfaatkan virtual desktop infrastructure (VDI). Dengan VDI, perusahaan tidak perlu lagi menyediakan perangkat keras dengan spesifikasi tinggi dan harga mahal untuk aktivitas tim engineering.
Misalnya, perusahaan harus menyediakan laptop berspesifikasi tinggi untuk penggunaan aplikasi Building Information Modelling (BIM) oleh tim engineering yang bertugas di berbagai proyek Waskita Karya. Ketika perusahaan harus menggarap 100 proyek, bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk pembelian laptop.
“Dengan memanfaatkan VDI, kami bisa kurangi sehingga tinggal 20% (penggunaan perangkat laptop). Ini sangat mengurangi biaya,” jelas Mursyid. Menurutnya, dengan cloud-based design dan rendering process, tim engineering bisa melakukan tugasnya menggunakan laptop dengan spesifikasi yang lebih rendah.
Bahkan untuk pengerjaan proyek di luar negeri, salah satunya di Sudah Selatan, Waskita Karya akan memanfaatkan VDI. “Kalau dulu ada proyek di luar negeri, kami akan mengirimkan tim secara komplet terutama engineering. Sekarang tidak lagi karena proses engineering bisa dikerjakan di Jakarta dan ini penghematan luar biasa,” jelasnya bersemangat.
Untuk kebutuhan procurement, Waskita Karya pada bulan Oktober lalu meluncurkan aplikasi e-procurement yang dinamai We-Proc. Aplikasi pengadaan ini mewadahi pembeli dan rekanan untuk melakukan pengadaan secara digital.
Menurut Mursyid, dengan adanya aplikasi We-Proc, proses procurement kini bisa dilakukan secara tersentralisasi. Manfaat yang diraih, menurutnya, adalah skala dan harga yang relatif jauh lebih kompetitif dan compliance yang lebih baik dari sebelumnya.
Untuk proses construction (konstruksi), Waskita Karya memanfaatkan teknologi virtual realtiy sebagai media koordinasi BIM. “Dulu, tim engineering dengan keterbatasan sumber daya harus pergi ke lokasi proyek. Nah, sekarang cukup lewat VR ini masalah dapat diatasi bersama,” imbuh Mursyid.
Targetkan National Lighthouse
Untuk mendukung proses transformasi ini, Waskita Karya juga juga mengembangan organisasi TI-nya. TI yang dulunya berupa departemen sekarang telah ditingkatkan menjadi divisi dengan sejumlah departemen di bawahnya sehingga bisa memberikan support yang lebih andal terhadap operasional TI Waskita Karya.
“Di tahun 2022 ini kami menyiapkan departemen khusus data analytics, dalam rangka persiapan kami untuk journey selanjutnya yang mau tidak mau kami akan migrasi ke cloud sepenuhnya, agar efisiensi bisa tercapai,” imbuh Mursyid.
Tak hanya berhenti di implementasi teknologi, Mursyid mengungkapkan bahwa PT Waskita Karya Tbk. kini sedang berupaya untuk meraih gelar National Lighthouse. Sebagai informasi, National Lighthouse Industri 4.0 menjadi contoh dalam transformasi digital dan penerapan teknologi 4.0. Perusahaan-perusahaan ini dianggap layak menjadi role model bagi pelaku industri di sektornya serta dapat menjadi mitra dialog pemerintah dalam implementasi Industri 4.0 di Indonesia.
“Di Indonesia ada sekitar seratusan lebih BUMN. Nah, yang memperoleh predikat National Lighthouse itu baru satu yaitu Pupuk Kaltim. Oleh karena itu, kami ingin jadi yang kedua,” ujar Mursyid bersemangat. Sebagai informasi, saat ini sudah ada empat perusahaan, termasuk Pupuk Kaltim, yang ditunjuk Pemerintah Indonesia sebagai National Lighthouse Industri 4.0.