Ericsson melalui Ericsson IndustryLab belum lama ini telah merilis laporan bertajuk "Future of Enterprise" versi terbaru di dunia. Merupakan Future of Enterprise #3, laporan tersebut mengeksplorasi arti dari resiliensi pada masa sekarang dan bagaimana para perusahaan mengembangkan startegi untuk menghindari aneka efek dari kejadian-kejadian disruptif pada masa depan. Ericsson menegaskan, berdasarkan Future of Enterprise #3, perencanaan resiliensi jangka panjang menjadi hal penting bagi perusahaan dalam mempersiapkan diri menghadapi disrupsi. Perusahaan, termasuk di Indonesia, dituntut untuk meningkatkan resiliensi. Ericsson membagi pula beberapa temuan khusus Indonesia yang bisa menjadi masukan tambahan bagi perusahaan tanah air.
“Perang. Krisis energi. Bencana alam. Pandemi. Dunia kita menjadi makin kompleks, dan sekarang adalah waktu untuk mengadopsi strategi resiliensi. Hal ini sangat penting bagi perusahaan jika mereka ingin tetap kompetitif dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Meskipun banyak perusahaan sudah memiliki strategi, laporan ini menunjukkan kebutuhan nyata akan pergeseran dari resiliensi berbasis pengulangan jangka pendek ke strategi berbasis efisiensi jangka panjang,” sebut Patrik Hedlund (Senior Researcher, Ericsson Consumer & IndustryLab).
Berdasarkan Future of Enterprise #3, Ericsson menemukan bahwa 42% pengambil keputusan kini percaya bahwa dalam waktu dekat mereka akan menghadapi disrupsi pada perusahaannya karena bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim. Ericsson pun menemukan hal serupa untuk perusahaan di Indonesia. Ericsson menemukan bahwa 52% pengambil keputusan di tanah air percaya hal yang sama. Selain itu, para pengambil keputusan tersebut juga menyadari bahwa kesiapsiagaan sangat penting dalam menghadapi disrupsi yang datang. Terdapat kebutuhan untuk beralih dari strategi reaktif menuju perencanaan resiliensi jangka panjang, serta bergeser dari resiliensi yang berorientasi pada pemulihan.
Menariknya, 63% pengambil keputusan di Indonesia mengatakan perusahaan mereka memiliki strategi yang terdefinisi dengan baik untuk menangani peristiwa-peristiwa disruptif. Begitu pula dengan 70% karyawan di Indonesia yang berpendapat bahwa dengan melakukan kerja sama yang baik dengan mitra, pemasok, dan lainnya adalah kunci untuk meningkatkan kemampuan perusahaan mereka dalam menangani peristiwa disrupsi. Ericsson pun menemukan bahwa persiapan tersebut didorong oleh digitalisasi dan otomatisasi. Pasalnya, 81% perusahaan yang memiliki strategi resiliensi yang terdefinisi dengan baik terbukti menaruh investasi sehubungan hal itu, misalnya dalam 5G.
Ericsson menambahkan pentingnya bagi perusahaan untuk mengenali nilai dalam resiliensi proaktif daripada reaktif. Sayangnya, Ericsson menilai hal itu bisa saja belum menjadi bagian dari strategi banyak perusahaan. Ericsson percaya terdapat lebih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan perusahaan mengingat kondisi saat ini yang tidak pasti. Berdasarkan temuan pada Future of Enterprise #3, terdapat dua perubahan utama dalam strategi resiliensi yang diyakini akan menjadi sangat penting ke depannya. Pertama adalah pergeseran dari resiliensi berbasis pengulangan jangka pendek ke resiliensi berbasis efisiensi jangka panjang yang lebih berkelanjutan secara lingkungan. Adapun kedua adalah resiliensi berorientasi pemulihan perlu bergeser ke arah inovasi model bisnis yang proaktif.
”Kesiapan teknologi penting bagi perusahaan di Indonesia agar tangguh. Inovasi, digitalisasi, manajemen risiko proaktif, dan kelestarian lingkungan akan memungkinkan organisasi menjadi lebih tangguh. Lebih dari 60 persen pengambil keputusan di Indonesia mengatakan perusahaan mereka memiliki strategi yang terdefinisi dengan baik untuk menangani peristiwa disrupsi. Hampir 70 persen karyawan di Indonesia sangat yakin bahwa jaringan 5G akan menjadi platform inovasi yang penting untuk pekerjaan mereka. Digitalisasi yang dipercepat oleh perusahaan akan memungkinkan ekonomi Indonesia bertransformasi menjadi ekonomi digital,” pungkas Jerry Soper (Head of Ericsson Indonesia).