Citra pinjaman online (pinjol) saat ini memang sedang terpuruk. Pemberitaan negatif tentang pinjol terus bermunculan, terutama tentang korban yang harus sengsara karena tercekik utang. Tidak heran jika muncul kampanye untuk membangkrutkan perusahaan pinjol: pinjam ke pinjol, namun tidak usah bayar cicilan.
“Saya setuju sekali, silahkan kampanye seperti itu,” ungkap Ronald Yusuf Wijaya, Ketua Umum AFSI (Asosiasi Fintech Syariah Indonesia). “Tapi, untuk fintech yang ilegal,” ungkap Ronald.
Ronald menyebut, publik sebaiknya dapat membedakan antara pinjol yang legal dan ilegal. Keberadaan pinjol resmi dan legal sebenarnya bermanfaat bagi inklusi keuangan di Indonesia. “Dengan adanya fintech, kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak punya akses keuangan, sekarang jadi punya,” ungkap pria yang juga pendiri Ethis, P2P lending berbasis syariah tersebut.
Membenahi Regulasi
Akan tetapi Ronald mengakui, ada banyak hal yang harus dibenahi dari industri pinjol di Indonesia. Contohnya adalah komposisi pinjaman yang masih didominasi pinjaman konsumtif (dibanding pinjaman produktif seperti modal usaha). “Saat ini proporsinya 70:30,” ungkap Ronald. Untuk memperbaiki masalah ini, OJK dan asosiasi fintech sedang mendorong proporsi ini ke arah yang lebih sehat. “Idealnya dalam 2 tahun ke depan, komposisinya menjadi 60 produktif, 40 konsumtif,” tambah Ronald.
Masalah lain dari industri pinjol saat ini adalah bunganya yang dianggap terlalu tinggi. Saat ini, sebenarnya sudah ada aturan maksimal bunga yang dipatok di angka 0,4% per hari (atau 12% per bulan). Pihak OJK bahkan sedang menggodok aturan baru agar bunga tersebut bisa lebih rendah lagi.
Namun soal aturan bunga ini, Ronald berharap regulator mempertimbangkan keberlanjutan penyelenggara pinjol. “Saya pikir bunga 0,4% sudah pas,” ungkap Ronald. Ketika disinggung mengapa bunganya harus setinggi itu, Ronald menyebut faktor risiko dan biaya operasional industri pinjol saat ini sebagai penyebabnya. “Contohnya biaya buat akuisisi, tanda tangan digital, dan sejenisnya juga besar,” tambah Ronald.
Dengan komposisi bunga 0,4%/hari saja, masih banyak perusahaan pinjol yang masih merugi. “Dari 101 fintech resmi yang ada saat ini, yang sudah profitable itu tidak sampai 50%,” tambah Ronald. Kalau batasan maksimal bunga diturunkan lagi, Ronald khawatir semakin banyak perusahaan pinjol yang merugi.
Terkait regulasi, area penting yang diatur adalah dari sisi ekuitas. Tahun ini, seluruh penyelenggara P2P lending harus memiliki ekuitas atau modal minimal sebsar Rp.25 miliar. Angka ini akan naik menjadi Rp.7,5 miliar di tahun 2024 dan Rp.12,5 miliar di tahun 2025. “Bahkan bagi pemain baru, ekuitasnya sudah harus Rp.25 miliar,” tambah Ronald.
Aturan ekuitas ini penting untuk memastikan keberlangsungan penyelenggara pinjol. “Jangan sampai sudah mendapat ijin, namun kemudian mati suri karena kekurangan modal,” tambah Ronald. Regulasi ini juga mencegah terjadinya jual-beli ijin yang dalam beberapa tahun marak terjadi. “Kami di asosiasi diminta untuk bisa mengawasi agar tidak terjadi hal-hal seperti tersebut,” ujar Ronald.
Tingkatkan Literasi
Selain membenahi regulasi, aspek lain yang harus didorong adalah literasi di masyarakat terkait industri fintech ini. Karena itulah OJK bersama AFPI dan Aftech (Asosiasi Fintech Indonesia) menyelenggarakan Bulan Fintech Nasional (BFN) yang akan diselenggarakan pada 11 November-12 Desember 2023 (11.11-12.12). Pada BFN ini, akan diselenggarakan program literasi berbagai jenis bisnis model fintech yang ada di Indonesia secara online.
Selain itu, ada pula Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 yang diselenggarakan secara offline pada 23-24 November 2023. Acara ini akan diselenggarakan di Kota Kasablanka, berisi pembahasan topik seputar fintech, seperti outlook industri, inklusi fintech identitas digital, dan lain sebagainya (info lebih lanjut bisa disimak di bulanfintechnasional.com).
Dengan menata aspek regulasi dan literasi, ekosistem fintech Indonesia diharapkan semakin matang dan dapat mendorong kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia.