Find Us On Social Media :

Kekurangan Ahli AI, China Siap Kasih Gaji Besar dan Banyak Tunjangan

By Adam Rizal, Kamis, 9 November 2023 | 13:30 WIB

Ilustrasi AI (Artificial Intelligence).

China berambisi menjadi negara dengan pengembangan teknologi artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan terdepan di dunia. Sayangnya dibalik ambisi besar itu China kesulitan mencari tenaga kerja AI yang handal sehingga berdampak pada terhambatnya pengembangan AI.

Perusahaan teknologi terkemuka seperti ByteDance, Alibaba, dan Tencent bersaing untuk menjadi yang pertama dalam menghadirkan alat AI baru ke pasar. ByteDance, misalnya, telah mempekerjakan sebagian besar profesional AI dalam tiga tahun terakhir. Pekerjaan di bidang AI menjadi sangat dihargai di dunia teknologi China, dengan banyak perusahaan seperti ByteDance dan Meituan mencari ahli terbaik, tetapi kesulitan menemukan kandidat yang tepat.

Kehebohan seputar AI telah mendorong tingginya gaji para ahli AI di China. Laporan  menyebutkan bahwa para ahli AI di China bisa menghasilkan dua kali lipat penghasilan rata-rata pekerja kantor di Beijing dengan banyak tunjangan seperti dikutip Gizmochina.

Namun, tidak semua pekerjaan AI diminati; perusahaan mengutamakan orang yang mampu membuat komputer memahami dan memproses bahasa manusia atau meningkatkan kecerdasan mobil otonom.

Salah satu terobosan terbaru adalah ChatGPT, chatbot dari OpenAI, yang menghasilkan peluang besar. Ini menciptakan peluang bagi banyak orang untuk menghasilkan gaji yang tinggi dalam peran AI. Perburuan bakat AI ini terutama terjadi di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mencerminkan fokus industri AI pada daerah-daerah tertentu di China.

Incaran Pelamar Kerja

Ilustrasi Artificial Intelligence (AI) di bidang Musik

Platform rekrutmen Liepin di China mengungkapkan lulusan universitas di China memilih bekerja di industri artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan karena menawarkan gaji yang besar. Lapangan pekerjaan berbasis AI menawarkan gaji rata-rata sekitar USD2600 atau sekitar Rp41 juta per bulan, naik 40 persen dalam tiga tahun terakhir.

Faktor yang membuat gaji bekerja di industri AI besar adalah tingginya permintaan akan keterampilan AI generatif, yang dipicu oleh persaingan untuk mengembangkan layanan serupa dengan ChatGPT.

Selain AI, posisi yang berhubungan dengan blockchain juga muncul sebagai salah satu pilihan yang paling menguntungkan, diikuti oleh posisi dalam sektor perawatan lansia, penerbangan, peralatan luar angkasa, dan perangkat komunikasi, semuanya menawarkan gaji yang bersaing, berkisar antara USD2000 (sekitar Rp32 juta) hingga USD2300 (sekitar Rp36 juta). Laporan ini menyoroti persaingan sengit dalam merekrut talenta nasional, terutama di kota-kota seperti Xian dan Hefei, yang semakin meningkatkan investasi mereka di sektor teknologi.

Gaji menjadi alat penting dalam usaha kota-kota ini untuk menarik lulusan, dan lulusan menjadi pusat perhatian bagi upaya mereka dalam mengembangkan kekuatan kerja. Bidang teknologi informasi, internet, dan video game masih tetap populer di kalangan lulusan, meskipun ada pergeseran minat ke arah pekerjaan di bidang elektronik, telekomunikasi, dan semikonduktor, yang terlihat dari hampir dua kali lipatnya jumlah CV yang dikirimkan dibandingkan tahun 2021.

Meskipun rata-rata gaji lulusan universitas pada tahun 2023 mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan tersebut lebih disebabkan oleh ketidakpastian dalam ekonomi makro. Namun, gaji yang masih diterima oleh lulusan melampaui gaji pada tahun 2021, menunjukkan ketahanan pasar kerja secara keseluruhan di tengah tantangan ekonomi.

Ketika melihat kota-kota, Beijing memimpin dengan gaji rata-rata tertinggi sekitar $1.800 (sekitar Rp28 juta) per bulan, diikuti oleh Shanghai, Shenzhen, dan Hangzhou, yang merupakan markas bagi perusahaan teknologi besar seperti Baidu dan Meituan.

Hal ini mencerminkan konsentrasi peluang kerja dengan gaji tinggi di pusat-pusat kota besar. Perkembangan pesat dalam sektor AI dan blockchain mencerminkan tren global, meskipun mereka juga membawa tantangan, termasuk pergeseran dalam jenis pekerjaan dan pertimbangan etika yang relevan.

Regulasi Ketat

Baru-baru ini pemerintah China merilis regulasi untuk mengawasi peredaran dan penggunaan layanan chatbot artificial intelligence (AI) generatif. Namun, beberapa pihak menilai regulasi pengawasan itu menghambat inovasi.

Komite Teknis Standardisasi Keamanan Informasi Nasional, sebuah badan yang memiliki kewenangan dalam menetapkan standar keamanan teknologi informasi mengungkap regulasi pengawasan AI itu fokus pada dua aspek utama yaitu perlindungan data pelatihan dan pengaturan large language model (LLM) yang digunakan dalam layanan AI generatif.

"Panduan ini mewajibkan para pengembang AI untuk menggunakan data resmi dalam proses pelatihan AI dan harus menjalani prosedur pemeriksaan keamanan untuk mencegah pelanggaran data dan hak cipta. Tujuannnya untuk memastikan kualitas dan legalitas data yang digunakan dalam algoritma AI," tulis regulasi tersebut seperti dikutip Gizmochina.

Panduan itu juga mengacu pada konsep "sistem daftar hitam" yang bertujuan untuk menghalangi penggunaan materi pelatihan yang mengandung lebih dari 5% konten ilegal atau berbahaya, sesuai dengan undang-undang keamanan siber negara.

Meskipun regulasi itu dirancang untuk memastikan bahwa layanan AI menghasilkan konten yang bertanggung jawab dan legal, langkah ini juga memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap inovasi dan kebebasan berpendapat.

Regulasi itu menyarankan bahwa teknologi algoritma AI harus berdasarkan pada model yang diajukan dan disahkan oleh otoritas yang berwenang. Hal ini dapat membatasi ruang lingkup eksperimen dan inovasi para pengembang, yang pada gilirannya dapat menghambat perkembangan teknologi dengan berbagai aplikasi.

Selain itu, regulasi AI itu juga menambahkan lapisan baru dalam pengawasan pemerintah. Ada kekhawatiran bahwa model AI dapat digunakan untuk menyebarkan narasi tertentu, seperti yang terlihat ketika chatbot China memberikan berbagai respon terkait status Taiwan selama uji coba internal, bahkan ada yang menolak untuk merespons dan mengakhiri percakapan.

Di Indonesia, belum ada regulasi yang mengatur penggunaan AI, sementara beberapa negara lain telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap perkembangan teknologi ini.

Baca Juga: Chip AI Nvidia Mahal, Baidu Beralih Borong Chip AI Huawei Ascend

Baca Juga: OpenAI Resmi Luncurkan GPT Store, Toko Online Semua Produk AI