Find Us On Social Media :

Antisipasi Risiko, Jepang Siapkan Regulasi Pengembangan Teknologi AI

By Adam Rizal, Sabtu, 23 Maret 2024 | 09:10 WIB

Ilustrasi AI (Artificial Intelligence).

Jepang akan menyiapkan regulasi yang mengikat bagi pengembang sistem artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan  dalam upaya mengatasi disinformasi dan risiko lainnya. Langkah ini merupakan perubahan dari kebijakan sebelumnya yang lebih cenderung sukarela tanpa adanya sanksi dan regulasi yang ketat seperti di Uni Eropa.

Karena itu, Jepang akan membentuk dewan ahli AI untuk membahas masalah ini dan memasukkan peraturan baru ke dalam pedoman kebijakan manajemen ekonomi dan fiskal. Pedoman yang akan dirilis mencakup 10 prinsip, termasuk "keterpusatan pada manusia" dan penggunaan AI yang aman. 

Pengembang teknologi canggih seperti chatbot AI generatif ChatGPT akan ditetapkan sebagai "pengembang model dasar AI". Perusahaan yang menggunakan AI di area berisiko tinggi akan diwajibkan melakukan verifikasi keselamatan dan berbagi penilaian risiko dengan pemerintah. 

Pengembang yang ditunjuk juga harus melaporkan status kepatuhan mereka. Pemerintah dapat memberlakukan denda dan sanksi lain atas pelanggaran. Parlemen Eropa baru-baru ini mengesahkan undang-undang tentang kecerdasan buatan yang akan berlaku mulai tahun 2026 dengan denda signifikan bagi pelanggaran.

Comblangkan Warga

Saat ini Jepang memiliki masalah pelik yaitu resesi seks yang membuat orang Jepang malas menikah dan membuat jumlah populasi warganya yang menurun. Hal itu membuat jumlah warga Jepang yang jomblo atau belum menikah meningkat. Belum lagi biaya hidup dan inflasi yang tinggi di Jepang membuat warganya malas menikah.

Karena itu, pemerintah Jepang memanfaatkan teknologi artificiaI intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk mengatasi masalah jomblo akut di negaranya. Pemerintah daerah dan pusat telah mengadopsi berbagai inisiatif, termasuk acara perjodohan tradisional yang didukung oleh AI, untuk membantu warga menemukan pasangan hidup. 

Warga Jepang yang jomblo diminta menjawab lebih dari 100 pertanyaan. Kemudian AI menganalisis kualitas yang dicari dari calon pasangan berdasarkan informasi yang terkumpul dan sebaliknya sebelum saling memperkenalkan kedua belah pihak.

Beberapa prefektur, seperti Ehime dan Tochigi, menggunakan big data untuk mencocokkan calon pasangan berdasarkan informasi pribadi dan riwayat penelusuran internet. Sistem itu telah membantu banyak pasangan menikah, meskipun awalnya beberapa orang merasa skeptis. Meskipun demikian, ada biaya pendaftaran yang tidak murah, sehingga mereka yang mendaftar diharapkan serius dalam niat mereka untuk menikah. 

Meskipun Jepang bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah demografi, upaya menggunakan AI dalam perjodohan diharapkan dapat memberikan solusi yang efektif dan terjangkau seperti dilansir Kyodo News. Menurut Badan Anak dan Keluarga, 31 dari 47 prefektur di Jepang menawarkan layanan perjodohan AI untuk membantu menemukan pasangan menikah pada akhir Maret tahun lalu, dan Pemerintah Metropolitan Tokyo bergabung dengan mereka pada Desember 2023.

"Tujuan dari program ini adalah untuk memperluas wawasan sehingga mereka tidak hanya melihat faktor institusi akademik mana yang dimasuki atau usia mereka," kata Hirotake Iwamaru, seorang konselor di pusat tersebut. 

Prefektur Tochigi, sebelah utara Tokyo, menggunakan sistem yang sama. Katsuji Katayanagi dari pusat dukungan pernikahannya mengatakan, "Kaum muda cenderung menyerahkan urusannya kepada orang lain, jadi menurut saya kita perlu, sesekali, meminta big data untuk merekomendasikan pasangan."

Takeaki Uno, seorang profesor teori algoritma di Institut Informatika Nasional yang terlibat dalam pengembangan sistem di Prefektur Ehime, mengatakan penggunaan AI dalam layanan perjodohan memperluas jangkauan mitra potensial. 

"Dari segi efektivitas biaya, lebih mudah digunakan dibandingkan swasta, dan memberikan keuntungan bagi banyak orang," ujarnya.

Jepang sejak lama mengalami masalah rendahnya angka kelahiran. Krisis demografi Jepang semakin memburuk, karena negara tersebut mengalami penurunan populasi terbesar dan tingkat kelahiran rekor yang terendah pada 2019 akibat resesi seks.

Baca Juga: Apple Kembangkan Alat AI Bantu Pengiklan Tepat Sasaran di App Store

Baca Juga: Microsoft Bajak Pentolan Google DeepMind untuk Pimpin AI Copilot