Akhirnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui resolusi global pertama mengenai artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia, keamanan data pribadi, kebijakan privasi yang kuat, serta pemantauan risiko terkait pengembangan dan penggunaan AI.
Resolusi itu disponsori oleh Amerika Serikat dan didukung oleh lebih dari 120 negara serta memiliki sifat tidak mengikat. Resolusi itu mengedepankan prinsip bahwa pengembangan dan penerapan AI haruslah didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan, martabat, keselamatan, dan keamanan.
"Hari ini, semua 193 anggota Majelis Umum PBB telah setuju dan memilih mengatur AI dibandingkan membiarkan AI yang mengatur kita. AI harus diciptakan dan diterapkan melalui sudut pandang kemanusiaan, martabat, keselamatan, keamanan, hak asasi manusia, serta kebebasan mendasar, " kata Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield seperti dikutip Reuters.
Meskipun disertai dengan negosiasi yang intens, termasuk ketegangan dari Rusia dan China, kesepakatan itu mencerminkan konsensus global pertama dalam hal pengaturan AI. Meskipun demikian, hal ini bukanlah langkah pertama dalam upaya internasional untuk mengatur pengembangan AI, mengingat adanya inisiatif sebelumnya seperti Deklarasi Bletchley yang ditandatangani pada November 2023.
Resolusi itu menjadi bagian dari upaya global untuk mengantisipasi risiko potensial yang terkait dengan penggunaan AI yang tidak tepat atau berbahaya, termasuk gangguan terhadap demokrasi, peningkatan penipuan, dan dampak negatif terhadap lapangan kerja.
Meskipun demikian, implementasi regulasi AI masih menghadapi tantangan di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat yang mengalami kesulitan dalam menerapkan peraturan AI akibat polarisasi politik di Kongres.
Pada Maret 2024, Uni Eropa sudah mengadopsi perjanjian sementara untuk mengawasi teknologi AI. Pemerintah Joe Biden di Amerika Serikat telah mendesak anggota parlemen untuk menerapkan peraturan AI, tetapi Kongres AS yang terpolarisasi hanya menghasilkan sedikit kemajuan.
Peran Indonesia
Ilustrasi AI (Artificial Intelligence).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berambisi Undang-Undang yang mengatur artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan disahkan sebelum tahun 2026. Indonesia tidak ingin mengikuti jejak Uni Eropa yang baru memiliki regulasi AI pada tahun 2026.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo, Usman Kansong, menekankan pentingnya Indonesia membuat regulasi AI yang tidak terlalu lambat, mengingat kemajuan teknologi AI yang sudah sangat pesat saat ini.
"Perkembangan AI saat ini sangat masif dan memiliki potensi risiko jika tidak diatur dengan tepat, seperti munculnya deepfake, pelanggaran hak cipta oleh AI, dan kegiatan penipuan," katanya.
Surat Edaran Menteri Kemenkominfo terkait etika AI diakui tidak cukup untuk mengatur perkembangan AI karena sifatnya yang tidak mengikat dan tidak memiliki sanksi.Tak hanya itu, Kemenkominfo juga sedang berkolaborasi dengan Badan Riset dan Intelijen Nasional (BRIN) untuk menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang AI yang lebih mengikat. Penyusunan Perpres dipilih karena dianggap lebih cepat dan mudah.
Kemenkominfo juga akan membuat lebih banyak regulasi yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang atau merevisi regulasi yang sudah ada untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Selain itu, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menyatakan optimisme terhadap potensi AI Indonesia dalam mencapai nilai ekonomi yang signifikan di masa depan.
"Potensi AI di Indonesia tercermin dari banyaknya startup berbasis AI yang dikembangkan oleh anak-anak bangsa,"" ujarnya.
Pada 2023, nilai pasar global AI diprediksi mencapai USD142,3 miliar atau sekitar Rp2.199 triliun. Adapun pada 2030, AI akan berkontribusi pada PDB Asean hingga US$1 triliun atau sekitar Rp15.456 triliun. Menurut Nezar, sekitar 40% atau US$366 miliar di antaranya akan berasal dari Indonesia.
Nezar berharap adanya kerjasama strategis antara pemerintah, startup AI Indonesia, perusahaan-perusahaan teknologi AI global, dan pemangku kepentingan terkait lainnya untuk memajukan AI di Indonesia.
Pembuatan regulasi komprehensif tentang AI didorong oleh Kemenkominfo untuk mengatasi masalah yang terjadi di dunia digital, khususnya terkait media, seperti pengutipan berita tanpa izin oleh platform digital dan monetisasi tanpa izin.
Masalah ini tidak dapat diatasi dengan Publisher Right atau Hak Penerbit semata karena platform digital menggunakan AI, dan perusahaan AI mungkin tidak mau dianggap sebagai platform digital. Oleh karena itu, regulasi yang komprehensif tentang AI menjadi semakin penting untuk mengatasi tantangan tersebut.
"Kita dorong untuk negara ini membuat regulasi (tentang AI). Sudah dirintis oleh BRIN. BRIN sedang menggodok Perpres tentang AI," kata dia dalam Forum Diskusi Media bertema "Al dan Keberlanjutan Media" yang digelar daring dan luring di Jakarta, Senin.
Menurut Usman, upaya BRIN dalam menyusun peraturan presiden ini tepat, mengingat Indonesia saat ini sudah memiliki Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial tahun 2020-2045 yang salah satu poin di dalamnya membahas tentang etika dan kebijakan.
"Pas sekali kalau BRIN mulai menyusun, bentuknya Perpres saja dulu. Jadi sama, meniru Publisher Right kelihatannya. Di masa depan tentu kita berharap ini berbentuk undang-undang. Tapi jan
Baca Juga: Bukan Indonesia, Ini Alasan Vietnam Bakal Pimpin Industri AI di ASEAN
Baca Juga: Saham Perusahaan yang Kembangkan AI Jadi Incaran Bill Gates