Find Us On Social Media :

Bos Meta Kritik Pengembangan AI Google yang Ingin 'Menjadi Tuhan'

By Adam Rizal, Senin, 1 Juli 2024 | 10:00 WIB

CEO Meta Mark Zuckerberg memakai Ray-Ban Meta

Mark Zuckerberg (Pendiri Meta) mengkritik perusahaan raksasa teknologi lainnya seperti Google dan Apple yang menciptakan alat artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan super canggih seperti 'seolah-olah menjadi Tuhan' atau Playing God. Zuckerberg menegaskan pendekatan Meta dalam pengembangan AI sangat berbeda dengan Apple, Google, dan OpenAI mengembangkan alat AI yang tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna.

"Saya sangat kecewa ketika orang-orang di industri teknologi membangun AI yang sebenarnya. Sepertinya mereka ingin atau berperan seolah-olah menjadi  Tuhan atau semacamnya. Dan sepertinya, bukan itu yang kami lakukan," kata Zuckerberg seperti dilansir dari The Sun.

Zuckerberg mengatakan bahwa Meta fokus mengembangkan AI yang membantu orang dalam kehidupan sehari-hari, seperti kacamata Meta dan Ray-Ban yang menampilkan layar mengambang di bidang penglihatan pemakainya. Ia bercita-cita agar produk ini dapat menyertakan tampilan holografik penuh namun tetap terlihat seperti kacamata biasa.

Zuckerberg juga membahas Llama 3, model AI terbaru dari Meta yang "hampir menyamai model terbaik yang ada di luar sana." Pernyataan Zuckerberg ini menimbulkan pertanyaan tentang etika dan tujuan pengembangan AI. Apakah AI memang harus dibatasi untuk membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari, atau apakah boleh digunakan untuk tujuan yang lebih ambisius, seperti menciptakan teknologi yang lebih canggih.

Sementara itu Amerika Serikat (AS) menegaskan bahwa semua negara memiliki tanggung jawab dalam menciptakan kerangka perilaku yang bertanggung jawab dalam penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di bidang militer. AS menyoroti pentingnya deklarasi politik yang didukung oleh 54 negara untuk mengatur penggunaan AI secara bertanggung jawab. Hal itu mencakup aturan dasar untuk menjamin akuntabilitas dan perlindungan dalam penggunaan teknologi tersebut. 

"Semua negara punya peran dalam menciptakan kerangka normatif ini," kata Wakil Asisten Utama Sekretaris Paul Dean dari Biro Pengendalian Senjata, Pencegahan, dan Stabilitas, Kementerian Luar Negeri AS, dalam konferensi pers yang dipantau dari Jakarta, Kamis.

"Penggunaan AI tidak terbatas di medan perang saja, tetapi teknologi tersebut dapat digunakan militer di seluruh operasi, termasuk dalam hal efisiensi. Ada potensi risiko jika teknologi tersebut tidak digunakan secara bertanggung jawab," ujarnya.

Karena itu, deklarasi politik dan aturan-aturan perilakunya ditujukan untuk membimbing negara-negara dalam menggunakan teknologi tersebut secara bertanggung jawab.

Salah satu bukti atas pentingnya peran tersebut adalah deklarasi politik yang disampaikan 54 negara yang bergabung untuk mendukung kontribusi konstruktif dari negara mana pun yang siap memainkan peran penting dalam menciptakan kerangka normatif tersebut.

Deklarasi politik mencerminkan sejumlah aturan dasar perilaku yang mengatur bagaimana negara akan melakukan tinjauan hukum, dan memastikan tidak ada kesenjangan akuntabilitas dalam penggunaan AI di bidang militer.

"Saya kira teknologi ini akan benar-benar merevolusi militer di berbagai aplikasi," katanya.

Meskipun AI memiliki potensi untuk merevolusi militer dalam berbagai aplikasi, ada juga risiko yang terkait dengan penggunaannya jika tidak dilakukan dengan bijaksana. AS juga menekankan pentingnya penggunaan AI dalam pengendalian dan stabilitas nuklir, tetapi membutuhkan kemitraan internasional untuk membuat kemajuan dalam hal ini. AS menggarisbawahi bahwa stabilitas dalam penggunaan teknologi ini memerlukan komunikasi terbuka, kejelasan doktrin, dan batasan yang disepakati bersama.

Baca Juga: Ditekan AS, OpenAI Bakal Blokir Permanen Chatbot AI ChatGPT di China