Find Us On Social Media :

Ini Alasan Red Hat Sarankan Pendekatan Hybrid untuk Pengembangan AI

By Liana Threestayanti, Jumat, 19 Juli 2024 | 14:30 WIB

Menjawab tantangan adopsi artificial intelligence (AI) saat ini, Red Hat menawarkan pendekatan hybrid dan open source. (Foto: Vony Tjiu, Country Manager, Red Hat Indonesia dan Danny Natalies, Head of Corporate Information Technology & System, PT Kalbe Farma Tbk.)

Menjawab tantangan adopsi artificial intelligence (AI) saat ini, Red Hat menawarkan pendekatan hybrid dan open source.

Red Hat sendiri sudah sejak lama melabeli dirinya sebagai penyedia solusi open hybrid cloud. Hal ini lantaran Red Hat percaya bahwa cloud harus hybrid, menggabungkan public dan private cloud, untuk mengoptimalkan kinerja dan efisiensi biaya.

”Kami percaya cloud itu hybrid, tidak semua workload cocok dijalankan di cloud semuanya, tidak semua workload cocok dijalani di on-premises. Jadi perlu ada keseimbangan di antaranya, untuk mendapatkan optimalisasi dan efisiensi dari cost benefit tersebut,” ujar Vony Tjiu, Country Manager, Red Hat Indonesia.

Seiring maraknya adopsi teknologi artificial intelligence (AI), Red Hat pun mempercayai pendekatan hybrid pun tepat diaplikasikan pada AI. Menurut Vony, ada dua alasan untuk itu. Pertama, karena perusahaan pada umumnya menyimpan data di data center dan di cloud. Kedua, kebutuhan akan kedaulatan data (data sovereignty) yang kini semakin penting bagi perusahaan. 

Selanjutnya, Vony menjelaskan bahwa untuk mendukung pendekatan hybrid AI ini diperlukan fleksibilitas dalam pengelolaan AI model dan data sehingga bisa berjalan tanpa masalah, baik di public cloud maupun di private cloud. Pengoperasiannya pun harus mudah dilakukan dan konsisten di berbagai kondisi dan lingkungan, di mana saja model AI dan data berada.

Selain itu, Vony juga menekankan bahwa penerapan hybrid AI ini jangan sampai perusahaan atau organisasi harus melakukan upaya dan investasi tambahan. “Bagaimana solusinya itu bisa berjalan di satu platform yang sama di existing environment,” jelasnya.

Vony Tjiu pun menekankan bahwa Red Hat mendukung pelanggan dalam menjalankan proyek AI dengan memanfaatkan investasi TI yang sudah ada, mengintegrasikan inisiatif baru dengan operasional yang ada, dan menghindari biaya tambahan besar.

Di sisi lain, Red Hat juga ingin membawa konsep open source ke model AI. Menurutnya, saat ini, Red Hat melihat ada banyak model AI yang terbuka, misalnya large language model (LLM) yang sekarang banyak digunakan untuk membangun model AI. “Tapi (model-model ini) not being truly open source karena user itu tidak bisa berkontribusi. Jadi mereka bisa pakai tapi mereka tidak bisa berkontribusi, mereka hanya bisa use,” ujar Vony. Inilah yang menjadi alasan Red Hat untuk menerapkan konsep open source pada AI.

Untuk itu, Red Hat dan IBM merilis tool open source yang memungkinkan pengguna membuat dan menggabungkan kontribusi mereka ke dalam model bahasa besar (LLM).Tool ini dirancang untuk digunakan oleh perusahaan dalam pemodelan AI. 

Vony memaparkan, pendekatan ini mirip dengan konsep open source tradisional, yaitu konsep yang memungkinkan komunitas berkontribusi. Berbeda dengan kebanyakan AI saat ini yang sebagian besar bersifat privat dan tidak dapat dikonfigurasi oleh pengguna. Dengan konsep Red Hat dan IBM ini, pengguna dapat berkontribusi pada pengembangan AI. 

Mengenai AI dan solusi Red Hat, Vony menjelaskan bahwa Red Hat tidak hanya menyediakan alat untuk pengembangan AI, tapi juga mengintegrasikan AI ke dalam berbagai platformnya untuk memberikan pengalaman yang lebih lancar dan efisien bagi para pengembang maupun end user. Platform Red Hat untuk mendukung pengembangan AI, misalnya Red Hat Enterprise Linux (RHEL) AI dan Red Hat OpenShift AI, dan tool AI/ML Red Hat Developers. Red Hat juga menawarkan automasi dengan AI melalui Ansible Lightspeed.

Baca juga: Dorong Transformasi, Red Hat Dukung ISV & GIS Sediakan Solusi AI-Ready

Baca juga: Red Hat OpenShift AI Tambah Fleksibilitas Adopsi AI di Lingkungan Hybrid