Penyedia layanan telekomunikasi di Indonesia menghadapi tantangan berat dalam menyediakan akses internet yang merata dan berkecepatan tinggi. Salah satu hambatan utamanya adalah perbedaan regulasi di setiap daerah dan masalah penataan kabel.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, mengungkapkan bahwa regulasi daerah yang berbeda-beda menjadi salah satu penghalang utama. Selain itu, penataan kabel yang semakin berantakan juga memperburuk situasi.
"Kita juga harus jujur dalam mengevaluasi apakah regulasi yang ada saat ini sudah cukup mendukung inovasi dan investasi yang kita butuhkan di pasar global. Regulasi yang kaku dan lamban dalam menanggapi perubahan teknologi dapat menjadi penghambat, bukan pendorong pertumbuhan sektor di dunia telekomunikasi," kata Arif.
"Pertama regulasi daerah yang berbeda-beda. Itu menghambat. Kedua masalah penataan kabel, makin lama makin semrawut," ujarnya.
Arif juga menyoroti tingginya biaya yang harus ditanggung oleh penyelenggara jasa telekomunikasi. Dia mengusulkan agar penyedia layanan broadband tetap mendapatkan insentif, serupa dengan yang sedang diperjuangkan oleh penyedia layanan seluler.
"Tanpa insentif, sulit bagi penyedia layanan untuk membangun infrastruktur di wilayah non-produktif dan daerah 3T (terpencil, tertinggal, dan terluar)," ujarnya.
Arif menjelaskan bahwa industri telekomunikasi telah berupaya bekerja sama dengan pemerintah untuk membuat regulasi terkait penataan kabel selama lima tahun terakhir. Aturan baru tentang penggunaan ducting dan redistribusi kabel baru saja diberlakukan. Sekarang, pemanfaatan kabel untuk redistribusi harus diawali dengan pembangunan ducting, berbeda dengan sebelumnya di mana redistribusi bisa dilakukan tanpa ducting.
"Sekarang Pemda pemanfaatan kabel mau menetapkan redistribusi dari pemanfaatan kabel harus membangun ducktinh. Kalau enggak membangun duckting enggak boleh menetapkan redistribusi," ujar Arif.
Arif menekankan pentingnya kerja sama lintas pemerintahan untuk menyelaraskan regulasi di setiap daerah. "Satu kementerian saja tidak cukup untuk menangani masalah ini; diperlukan kolaborasi antara Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Dalam Negeri," katanya.
Dalam lingkungan industri, adopsi teknologi canggih seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan big data, menjadi semakin mendesak. Namun, adopsi teknologi ini membutuhkan dukungan kebijakan yang jelas dan insentif yang memadai.
"Kami berharap pemerintah dapat lebih proaktif dan menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi ini, bukan hanya melalui regulasi, tetapi juga memfasilitasi akses terhadap infrastruktur dan sumber daya yang dibutuhkan," ujarnya.
APJII sebagai organisasi yang menaungi lebih dari 1.100 perusahaan penyelenggara telekomunikasi berbasis internet berperan startegis dalam mendukung transformasi digital di seluruh sektor. APJII berkomitmen untuk terus mendorong inovasi, meningkatkan kapabilitas digital, dan memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak. Namun komitmen ini membutuhkan dukungan penuh dan regulasi yang memungkinkan inovasi dan adaptif teknologi tanpa terbebani oleh regulasi yang usang dan tidak relevan.
Baca Juga: Kunci Sukses Superbank Raih 1 Juta Nasabah, Fokus Ciptakan Inovasi!