Kondisi industri fintech Indonesia menunjukkan tren menggembirakan. Nilai pinjaman P2P lending per Juli 2024 mencapai Rp.7,81 triliun atau naik 78,6% dari tahun sebelumnya. Nilai NPL90 (Non Performing Loan 90 hari) berada di angka 2,8% atau tidak terpaut jauh dengan bank (2,3%).
Data dari Aftech Annual Members Survey (AMS) 2024 juga mengindikasikan hal yang sama. Contohnya P2P lending dengan transaksi antara Rp.5-500 miiliar meningkat menjadi 50,4% (dari 49,2% di tahun 2023). Industri fintech Indonesia pun kini semakin inovatif dalam bekerja sama dengan lembaga jasa keuangan seperti bank dan BPR.
Data-data tersebut diungkapkan Aftech (Asosiasi Fintech Indonesia) dalam acara Aftech Gathering di Jakarta (8/10). Pada acara tersebut, Aftech mengungkapkan temuan menarik AMS 2024 yang melibatkan 228 anggota Aftech yang terdiri dari berbagai industri fintech, seperti P2P lending, payment, bank digital, serta bank konvensional.
Perlunya Kolaborasi
Pelaku industri fintech Indonesia juga mengakui dukungan pemerintah sudah cukup baik dalam mendukung inovasi dan investasi di industri fintech. Akan tetapi, ada beberapa area regulasi yang perlu mendapat perhatian khusus. Contohnya di bidang regulasi yang diharapkan fokus pada perlindungan konsumen dan bukan sekadar kewajiban administrasi. Dukungan juga dibutuhkan di area infrastruktur, terutama pembangunan infrastruktur fisik yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Pembenahan pondasi itu menjadi relevan dengan isu pencabutan moratorium P2P lending oleh OJK. Sebagai informasi, pada tahun 2020 OJK melakukan moratorium atau penghentian pemberian izin bagi P2P lending baru. Wacana pencabutan aturan ini mencuat dalam setahun terakhir, namun belum juga dilakukan.
“Saya yakin OJK memiliki point of view sendiri terkait moratorium ini,” ungkap Abynprima Rizki (Direktur Marcomm Aftech). Di tengah tren fintech yang membaik, pelaku industri menyadari masih banyak permasalahan mendasar yang harus dibenahi. “Karena industri fintech ini sebenarnya industri yang masih bayi namun harus cepat dewasa karena tingginya permintaan konsumen,” tambah Abyn.
Karena itu, pembenahan harus dilakukan agar pondasi industri fintech menjadi kokoh dan persaingan menjadi sehat. Ketika itu terjadi, kedatangan pemain baru pun akan berdampak positif.
Pembangunan Secara Teknologi
Pembenahan yang dilakukan pelaku industri fintech terungkap dari beberapa data yang terungkap di AMS 2024. Contohnya adalah penerapan prinsip Governance, Risk Management, and Compliance (GRC) yang telah dilakukan 91,6% anggota Aftech. Sekitar 75% anggota telah mengikuti standar ISO 27001, sementara 68% telah mengikuti POJK serta UU PDP.
Untuk menjamin keberlangsungan bisnis, 93,9% anggota Aftech juga telah memiliki Disaster Recovery Plan (DRP), dengan sebagian besar mengadopsi Cloud DRP (62,6%) dan data center DRP (59,4%).
Fakta menarik lain adalah pemanfaatan teknologi AI yang telah diadopsi 55% anggota Aftech. Mayoritas adopsi AI ini digunakan untuk data analytics (54,2%), facial recognition (44,1%), serta fraud detection (35,6%). “Saya meyakini ke depan, teknologi AI akan menjadi competitive advantage bagi pelaku industri fintech Indonesia,” ungkap Firlie Ganinduto (Wakil Sekretaris Jenderal Aftech).
Dokumen lengkap Aftech AMS 2024 dapat diunduh di sini.