Find Us On Social Media :

Tumbuh Tanpa Pengawasan, Fintech Ciptakan Krisis Ekonomi di Tiongkok

By Adam Rizal, Senin, 13 Agustus 2018 | 16:00 WIB

Pertumbuhan penyedia jasa pinjam meminjam berbasis teknologi (peer-to-peer lending atau P2P) yang pesat menyisakan segudang permasalahan pelik di Tiongkok. Yang utama adalah perusahaan P2P tersebut membuat simpanan para investor lenyap. 

Masalah ini tak lepas dari kurangnya pengawasan pihak berwenang atas perkembangan pesat P2P. Apalagi penyedia P2P menjanjikan imbal balik yang mencapai dua digit, jauh di atas bank konvensional. 

Seorang manajer proyek konstruksi di Beijing menceritakan ia telah menginvestasikan lebih dari 275.000 yuan China atau sekitar Rp600 juta kepada sebuah situs fintech Tourongjia.com. Namun tiba-tiba, situs tersebut berhenti beroperasi. 

Ironisnya, uang pinjaman itu termasuk tabungan orang tuanya, uang pinjaman dari teman dan dana untuk membeli apartemen untuknya dan istrinya yang sedang hamil.

"Reaksi pertama adalah tidak percaya. Saya tidak percaya platform itu telah runtuh. Tetapi pada akhirnya, saya harus menerima kebenaran," kata pria berusia 28 tahun yang menolak menyebutkan namanya seperti dikutip CNN.

Ia pun telah melaporkan Tourongjia.com kepada pihak berwajib. Kepolisian setempat pun meminta para investor untuk melaporkan kerugian mereka kepada polisi sesegera mungkin.

Penipuan

Awalnya, pemerintah Tiongkok sangat mendorong pertumbuhan industri fintech karena bisa meningkatkan inklusi keuangan di masyarakat. Akan tetapi, dorongan tersebut justru menimbulkan bumerang. 

"Fintech P2P kemudian menjadi magnet untuk penipuan dan kriminalitas karena tak adanya kontrol," kata Brock Silvers, managing director di perusahaan penasihat investasi yang berbasis di Shanghai, Kaiyuan Capital.

Saat ini pemerintah Tiongkok sedang membersihkan industri fintech dengan membuat dengan peraturan yang lebih ketat karena permasalahan perusahaan fintech yang "kabur" dapat menimbulkan risiko di sektor keuangan.

Jumlah jasa pinjam meminjam fintech yang ditutup di Tiongkok meningkat tajam. Pada Mei kemarin, jumlah fintech yang tutup 28 buah, namun di Juli ini menjadi 218 buah. 

"Para regulator harus lebih serius berusaha untuk menindak masalah ini ini karena mereka menyadari itu sudah tidak terkendali," kata Andrew Collier (Direktur Pelaksana Perusahaan Riset Keuangan Orient Capital) di Hong Kong.