Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah perusahaan rintisan alias startup terbanyak di dunia.
Bahkan menurut data dari Startup Ranking, startup Indonesia menduduki peringkat keempat terbesar di dunia dalam hal ini.
Meski jumlah startup yang lahir terbilang besar, tak sedikit yang usianya hanya seumur jagung. Hanya lahir, kemudian mati dalam waktu yang singkat.
Ketua Umum Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA), Ignatius Untung mengatakan Indonesia memiliki banyak ide untuk membuat startup namun tidak cermat dalam mengeksekusinya.
"Ada beberapa faktor yang menyebabkan banyak startup Indonesia berguguran. Salah satunya adalah minimnya mendapat kesempatan arahan alias mentoring dari orang yang lebih berpengalaman dalam bidang terkait," ujarnya.
"Banyak pelaku startup adalah orang-orang yang tidak punya pengalaman kerja. Artinya belum tahu bagaimana menjalankan bisnis. Akhirnya gagal di tengah jalan," ungkap Ignatius dalam acara perkenalan program IdEA Works.
Ia melanjutkan, selain minim kesempatan mentoring, faktor kedua yang menyebabkan startup cepat mati adalah kualitas dari founder atau pendiri startup tersebut. Founder harus dapat menentukan ke mana arah bisnis akan berjalan, dari sinilah startup akan bisa hidup dan bertahan.
"Mentoring itu sebenarnya bisa gagal bisa juga tidak. Contohnya pendiri Tokopedia, meski dia tidak punya pengalaman kerja yang 'wah', bisnisnya bisa sebesar ini," lanjutnya.
Berikutnya Selain itu, Ignatius juga melihat bahwa kondisi startup di Indonesia lebih terfokus pada angka berapa startup yang dilahirkan, bukan berapa jumlah startup yang dapat bertahan.
Ini juga didorong oleh faktor euforia, di mana banyak orang ikut membuat startup tapi tak memahami rantai bisnis yang membuat startup bisa bertahan.
"Startup banyak yang berumur pendek saya akui itu betul. Ini karena euforia. Banyak juga investor yang euforia. Salah satunya karena mereka melihat bonus demografi dan memandang semua startup bagus, padahal belum tentu," pungkasnya.