Jika ada teknologi yang jika hilang akan menyebabkan kesusahan di peradaban manusia, baterai Lithium-ion (Li-ion) mungkin salah satunya. Maklum, penggunaan baterai Li-ion sudah begitu merasuk kehidupan manusia. Mulai dari baterai notebook, komputer tablet, smartphone, sampai sejumlah baterai AA (bukan yang 1,2 V maupun 1,5 V) yang kita gunakan, sesungguhnya memanfaatkan teknologi Li-ion.
Ada banyak pertanyaan yang menyertai kepopuleran baterai Li-ion ini. Contohnya perihal boleh tidaknya notebook yang baterai Li-ion-nya sudah terisi penuh tetap terhubung ke listrik. Atau bolehkah menggunakan baterai Li-ion sampai habis baru kemudian diisi ulang. Padahal jawaban dari pertanyaan itu penting karena berhubungan dengan umur baterai.
Oh ya, yang kami maksud dengan umur di sini bukan berapa lama durasi baterai Li-ion bisa bertahan ketika perangkat tidak terhubung jala-jala alias jaringan listrik dari PLN atau sejenisnya, melainkan usia baterai Li-ion sampai akhirnya rusak dan harus diganti. Umur baterai Li-ion biasanya dinyatakan dalam discharge/charge cycle alias seberapa banyak baterai Li-ion tersebut digunakan dan diisi ulang. Setiap kali Anda menggunakan dan mengisi ulangnya, secara teoritis, umurnya akan berkurang.
Batas Tegangan
Untuk mengetahui mana yang benar mana yang salah, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu batasan tegangan yang umum digunakan baterai Li-ion. Seperti bisa di gambar 1, baterai Li-ion (tepatnya berbagai sel penyimpan energi yang terdapat di dalamnya), punya batas atas tegangan pada 4,2 V. Grafik ini sendiri ada di Battery University, situs yang membahas seluk-beluk baterai dan didirikan oleh Isidor Buchmann (penulis Batteries in a Portable World - A Handbook on Rechargeable Batteries for Non-Engineers).
Setelah mencapai 4,2 V, alat pengisi ulang (charger) seharusnya mematikan suplai daya. Baterainya sendiri seharusnya juga punya pengaman untuk memutus arus dari alat pengisi ulang jika tegangannya mencapai 4,2 V. Andai baterai Li-ion tersebut terus diisi ulang walau tegangannya sudah 4,2 V, kemungkinan baterai Li-ion itu akan rusak atau bahkan mengakibatkan kebakaran.
Karena ada sistem pengaman di sisi alat pengisi ulang maupun baterai, tentu seharusnya tidak ada masalah ketika Anda tetap menghubungkan alat pengisi ulang ke perangkat meski baterai Li-ion sudah terisi penuh? Ternyata tidak. Anda sebaiknya tetap mencabut alat pengisi ulang itu dari perangkat Anda.
Kenapa? Pertama untuk berjaga-jaga andai kata alat pengisi ulang dan baterai Li-ion yang digunakan tidak mengimplementasikan pengaman dengan benar. Alasan kedua, ketika didiamkan, baterai Li-ion tetap akan melepas sejumlah muatan listrik meski tidak dibebani (atau disebut self discharging). Jadi, sel pada baterai Li-ion tersebut akan turun tegangannya. Ketika tegangan di sel kurang dari 4,05 V, sejumlah alat pengisi ulang secara otomatis akan mengisi ulang baterai Li-ion bersangkutan sampai selnya mencapai 4,2 V. Dengan kata lain, baterai akan terus mengalami pengisian ulang dalam jeda yang singkat sehingga mengurangi umur baterai.
Lalu bagaimana dengan batas bawah tegangan baterai Li-ion? Umumnya batas bawah tegangan ini pada level sel adalah 3,0 V. Tegangan yang terlampau rendah bisa membuat baterai Li-ion mengalami hubungan pendek sehingga berbahaya bila diisi ulang. Dengan kata lain, baterai Li-ion tidak boleh melakukan pembuangan/pelepasan muatan listrik (discharge) secara berlebihan. Namun untungnya, fitur pengaman yang terpasang di baterai Li-ion biasanya akan menidurkan baterai Li-ion bila mencapai tegangan 2,7 V. Baterai Li-ion yang sudah ditidurkan itu, sayangnya tidak bisa diisi ulang menggunakan kebanyakan alat pengisi ulang. Inilah sebabnya Anda sebaiknya jangan membiarkan kapasitas baterai Li-ion perangkat Anda sampai 0%, baru kemudian mengisi ulangnya.