Jeli mengidentifikasi masalah dan tepat memberi solusi menjadi tantangan bagi para pemimpin teknologi.
Deretan pigura berisi gambar bentuk-bentuk konstruksi bergaya modern tampak menghiasi ruang kerja Chief Information Officer, PermataBank, Abdy D. Salimin. Sementara di sisi lain ruangan, terpajang rapi gambar-gambar karakter manusia dalam berbagai ekspresi. Mungkin tamu yang datang—seperti kami—juga takkan serta merta mengira kalau gambar-gambar itu adalah hasil karya pria yang juga menjabat sebagai Technology & Operations Director itu.
“Saya suka menggambar, sometimes I see what other people don’t see,” kata Abdy seraya tersenyum saat bercerita tentang hobi yang sudah ditekuninya sejak lama itu.
Dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin teknologi, kemampuan “melihat yang tak terlihat” itu bisa diterapkan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan masalah yang dihadapi pengguna maupun pelanggan. Karena saat ini, menurut Abdy, bermunculan teknologi-teknologi baru yang bersifat disruptif dan berpotensi mengubah business process konvensional.
“Kalau Anda bisa melihat problem customer lebih dulu dari yang lain, di situ opportunity-nya,” kata profesional TI yang sudah hampir 30 tahun berkecimpung di dunia teknologi digital dan bisnis perbankan itu.
Solusi API
Bukan sekadar mengidentifikasi masalah, pemimpin TI pun harus mampu menghadirkan solusi. Saat jajaran tim manajemen PermataBank menginginkan pertumbuhan bisnis yang cepat dan masif, Abdy dan timnya melihat bahwa tidak mungkin perusahaan bergantung pada penambahan jumlah cabang maupun sumber daya manusia.
“It’s all about scale. Sebagai bank BUKU 3, kami tidak mempunyai scale yang dimiliki bank-bank BUKU 4 sehingga cost to income ratio kami akan sangat tinggi jika pertumbuhan bisnis kami dilakukan dengan penambahan cabang. Kami harus tempuh cara lain, we have to think out of the box—bagaimana teknologi dapat membantu kami untuk bisa scaling secara efisien,” cerita pria yang telah mengenyam pengalaman karier di Singapura, Malaysia, Hong Kong, Jepang, Korea, dan Polandia itu.
Salah satu solusi yang ia terapkan adalah memanfaatkan teknologi Application Programming Interface (API). Dengan API-banking yang diimplementasikan sejak tahun 2017, jumlah nasabah baru PermataBank meningkat pesat. Hal ini karena akuisisi nasabah dilakukan oleh mitra yang memanfaatkan API tersebut, seperti perusahaan fintech.
“Tahun 2016, jumlah new account yang dibuka PermataBank hanya 1,3 juta. Tahun lalu, kami punya new account mencapai 3,2 juta, more than double. Tahun ini, semester satu, new account kami sudah mencapai 3,8 juta, dan kami akan memperoleh 7,6 juta new account sampai akhir tahun,” papar Abdy
Sementara jumlah kantor cabang dan sumber daya manusianya tidak berubah. “Dengan peningkatan volume yang segitu banyak, cost dan headcount kami malah flat dalam tiga tahun terakhir ini. Artinya apa? Volume dan revenue per headcount tinggi, produktivitas tinggi,” terangnya.
“Kontribusi API terhadap new account PermataBank sekarang sudah mencapai 73% dari total new account. Ini model bisnis yang sedang growing, dan di Indonesia baru ada 3 atau 4 bank yang sudah menggunakannya,” tambah bapak dua anak itu.
Namun menurut Abdy, model bisnis seperti itu mudah ditiru. Dalam waktu satu atau dua tahun lagi, ia yakin akan bermunculan lebih banyak bank yang melakukannya.
Teknologi API ditawarkan sebagai solusi bagi mitra bisnis PermataBank untuk mempercepat proses dan memperbaiki pengalaman pelanggan. Abdy mencontohkan salah satu mitra bisnisnya yang bergerak di bidang efek. Ia melihat pelanggan mitra bisnis itu harus menunggu 3 hingga 5 hari untuk membuka trading account meski sebenarnya sudah tersedia aplikasi ponsel. Namun, akun tidak bisa dibuka pelanggan secara daring dan harus datang ke kantor cabang bank untuk membukanya. Setelah menggunakan account opening API PermataBank, pelanggan kini dapat membuka akun secara langsung dan melakukan aktivitas trading secara real-time.
Tantangan Digitalisasi
Meski era transformasi digital sudah dimulai sejak beberapa tahun belakangan ini, digitalisasi proses bisnis masih akan menjadi tantangan bagi para pemimpin TI, terutama di industri perbankan, menurut Abdy.
“Tidak seperti startup, bank—seperti juga perusahaan berskala enterprise lainnya—memiliki banyak sistem dan proses legacy yang sudah ada sejak 20 bahkan 30 tahun lalu. Tidak hanya hardware dan software-nya, tetapi juga mindset dan business model-nya. So—for us—digitizing legacy process and modernizing technology capabilities are not as easy as setting up a new company,” ujar Abdy panjang lebar.
Meleburkan proses legacy ke platform digital berdampak tidak hanya pada perangkat keras dan lunak. Ada peran-peran yang harus berubah akibat transformasi itu. “Misalnya para Customer Service. Dengan adanya aplikasi mobile untuk para nasabah sehingga mereka bisa lakukan self-service, peran Customer Service berubah dari yang biasanya customer-service focused menjadi sales dan advisory untuk masalah-masalah yang lebih kompleks,” Abdy memberi contoh.
Perjalanan digital PermataBank sendiri terhitung cepat. Dimulai pada 2017, menurut Abdy, “Saat ini, 95% dari transaksi nasabah Retail, SME, dan Wholesale Bank sudah melalui aneka kanal digital, seperti PermataMobile X, Digital Value Chain, API Banking, Internet Banking, dan lain-lain.”
Tahun ini, giliran proses-proses internal yang didigitalisasi. “Misalnya proses loan approval untuk Wholesale Bank dan SME. Kalau dulu proses itu membutuhkan waktu 5 sampai 6 minggu, sekarang bisa dipercepat hingga 5 sampai 10 hari,” jelas Abdy. Masih ada 60% lagi proses-proses yang menanti kejelian seorang Abdy D. Salimin untuk menyajikan solusi.
Penulis | : | Liana Threestayanti |
Editor | : | Liana Threestayanti |
KOMENTAR